Sekjen Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Togar Mangihut Simatupang mengungkapkan 3 usulan skenario pembayaran tunjangan kinerja atau tukin dosen aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Kemendiktisaintek.
Pertama, opsi cukup, yakni tukin atau dana tukin dosen yang disediakan bagi dosen-dosen di Perguruan Tinggi Negeri Satuan Kerja (PTN-Satker) dan di PTN Badan Layanan Umum (BLU) yang belum ada remunerasi. Anggarannya sebesar Rp 2,8 triliun.
Kedua, opsi pembayaran tukin dosen PTN Satker dan BLU yang sudah punya remunerasi tetapi besarannya masih di bawah tukin. Anggarannya Rp 3,6 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lebih besar (dari opsi pertama) karena kita ambil selisih, karena ini yang dipraktikkan oleh pemerintah yang sudah dipakai di Kementerian Keagamaan, (Kementerian) Kesehatan," ucapnya usai rapat kerja Komisi X DPR dengan Kemendiktisaintek di Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Ketiga, opsi pembayaran tukin ke semua dosen ASN. Anggarannya sekitar Rp 8,2 T, dengan semua dosen di PTN Satker mendapat tukin dosen.
"Jadi skenario yang pertama itu yang dekat dengan yang disetujui oleh pemerintah itu," katanya.
Togar mengatakan pemerintah berkomitmen menganggarkan sekitar Rp 2,5 triliun untuk tukin dosen ASN di Kemendiktisaintek.
"Baru mendengar kabar dari Ketua Banggar DPR bahwa pemerintah kira-kira komit--karena keterbatasan fiskal--itu sekitar Rp 2,5 triliun," kata Togar.
Duduk Persoalan Tukin Dosen Versi Pemerintah
Dalam wawancara khusus dengan detikedu beberapa waktu lalu, Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan tunjangan kinerja PNS muncul dengan terbitnya Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, yang kini Kemendiktisaintek), tunjangan kinerja berlaku bagi ASN tenaga kependidikan administratif. Beda halnya dengan dosen
"Nah, untuk admin bisa seperti itu. Karena bisa diukur kan kinerjanya dengan kehadiran, kemudian dia kerja apa aja dihitung, kan. Dihitung jam dia kerja, terus dikasih remunerasinya sesuai dengan jam yang dia capai sebagai pegawai. Ditutupin (covered), dicek kan semua apa saja dikerjakan, berapa aja, dihitung kan, ada hitungannya. Jadi, gaji plus tukin kalau yang admin. Dosen kan beda," ucapnya.
Sedangkan bagi ASN jabatan fungsional (JF) dosen Kemendikbud, berlaku gaji ASN dan tunjangan profesi. Untuk mendapatkan tunjangan profesi, dosen harus sudah lulus sertifikasi dosen (serdos).
"Kita kan bukan admin. Dan dosen tidak bisa diukur dengan misalnya berapa jam dia ngantor, kan nggak ngantor. Kadang-kadang nggak ngantor kan, kan mesti ke lapangan. Kadang-kadang juga mungkin dia nggak di kantor, tapi mungkin bimbing mahasiswa, membina mahasiswa segala macam, penelitian, riset macam-macam, kan. Sehingga memang untuk dosen waktu itu, ya, nggak ada tukinnya. Yang ada adalah gaji yang fungsional dan tunjangan profesi," ucapnya.
Namun hingga hari ini, Satryo mengatakan tidak semua dosen Kemendikbud sudah tersertifikasi karena tidak dapat kuota ujian sertifikasi. Akibatnya, dosen-dosen tersebut tidak dapat memperoleh tunjangan profesi.
"Banyak yang belum sertifikasi, karena kan dosen itu kan total sekitar 300 ribu se-Indonesia. Sedangkan untuk ujian sertifikasi profesi itu setahun hanya bisa mungkin sampai 500 orang per tahun alokasinya. Kan ada ongkosnya itu untuk sertifikasi dosen itu. Jadi banyak yang nggak terima tunjangan profesi," ucapnya.
"Jadi cuma terima gaji sama tunjangan fungsional. Yang memang kecil fungsional itu," sambungnya.
Kendati berkualifikasi lulusan S2 dan S3, gaji dosen tanpa serdos tersebut menjadi lebih rendah daripada PNS dengan kualifikasi dan pangkat-golongan ASN yang setara di instansi lain. Penghasilan dosen yang belum tersertifikasi ini pun lebih rendah daripada tenaga kependidikan di kampusnya yang mendapatkan tunjangan kinerja (tukin).
"Tunjangan fungsional itu memang kecil. Nah, jadi ada keluhan dosen-dosen. 'Kok bisa ya? Kita pendapatannya lebih kecil, di bawah, dibanding dengan tenaga tendik di kampus, bagian TU atau apa. Dosen itu, padahal dosen sudah S3 dan sudah S2. Pendapatan lebih kecil daripada pendapatan teman-teman admin, tendik," ucapnya.
Berangkat dari keluhan-keluhan tersebut, muncul usulan agar dosen yang belum mengantongi serdos dapat diberi tukin. Namun, usulan ini belum terealisasi sejak 2015.
"Supaya, paling tidak, pendapatannya itu bisa seimbang. Golongan sama, pendapatan tendik maupun dosen juga minimal sama. Atau mungkin lebih besar sedikit lah, karena kan memang beda tugasnya, kan. Nah, itu yang kemudian dari tahun 2015 sampai sekarang ini belum terwujud bahwa dosen-dosen yang belum serdos itu sudah dapat tukin," ucapnya.
Wacana tukin bagi dosen yang belum tersertifikasi kembali muncul di masa Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) tetapi belum terealisasi.
Selanjutnya saat sudah ganti nomenklatur menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Keputusan Mendikbudristek tentang tunjangan kinerja dosen fungsional di bawah naungannya muncul di akhir masa kerja Mendikbudristek Nadiem Makarim.
Kepmendikbudristek No 447/P/2024 tentang Nama Jabatan, Kelas Jabatan, dan Pemberian Besaran Tunjangan Kinerja Jabatan Fungsional Dosen di Kemendikbudristek tersebut ditetapkan pada 11 Oktober 2024.
"Nggak sempet diolah lagi, tuh (saat itu). Jadi masih ngganjel terus sampai sekarang, sampai Diktisaintek, kan. Nah, saya ditodong sama teman-teman yang itu. 'Mana Pak, mana janji tukin yang ini.' Nah, kita sedang bicarakan lagi sekarang ke depan," ucapnya.
(twu/pal)