Panitia Kerja Komisi I DPR resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) pada Kamis (21/3/2025) di Jakarta. Setelah RUU ini disahkan, istilah dwifungsi TNI ramai dibahas oleh masyarakat.
Dalam UU TNI terbaru, pasal yang direvisi adalah pasal 3, pasal 7, pasal 47, dan pasal 53. Sejumlah poin penting revisi UU TNI antara lain semakin luasnya kementerian/lembaga (K/L) yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif hingga penambahan tugas operasi militer.
Aturan ini menuai beragam pendapat, salah satunya dugaan kembalinya dwifungsi TNI atau ABRI di Indonesia. Apa itu dan seperti apa sejarahnya? Simak di sini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengertian Dwifungsi TNI
Konsep dwifungsi TNI atau ABRI mulanya dilontarkan oleh AH Nasution dalam peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) pada 12 November 1958 di Magelang. Istilah itu kemudian diperkenalkan pada rapat pimpinan Polri di Porong pada 1960, seperti disebutkan dalam buku Sistem Politik Indonesia Era Reformasi oleh Prof DR Budi Winarno, MA.
Dwifungsi sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menyebut dua peran yang dikerjakan oleh militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi pembinaan wilayah atau masyarakat.
Menurut Nasution, TNI bukan sekadar alat sipil sebagaimana di negara-negara Barat dan bukan juga rezim militer yang memegang kekuasaan negara. Kemudian dikutip dari buku Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas XII SMA oleh Aim Abdulkarim, konsep yang diperkenalkan oleh AH Nasution ini disebut sebagai konsep "jalan tengah".
Penerapan konsep tersebut dalam penafsiran militer dan penguasa Orde Baru, mendapat landasan yuridis konstitusional dalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945.
Oleh karena itu, di bidang politik militer, TNI/Polri mendapat jatah di lembaga-lembaga politik DPR dan MPR melalui penunjukan dan pengangkatan. Artinya, militer otomatis mendapat jatah keanggotaan di lembaga-lembaga tersebut tanpa melalui pemilihan umum.
Kondisi tersebut menunjukkan paradigma ketatanegaraan yang tidak lazim dalam negara demokrasi.
Sejarah Dwifungsi TNI di Indonesia
Dwifungsi TNI pernah terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru. Saat itu, pelaksanaan dwifungsi ABRI mendapatkan banyak tentangan mulai dari tokoh masyarakat, intelektual, mahasiswa, bahkan dari kalangan militer sendiri.
Pada 1977, muncul kritik dari Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung yang merupakan lembaga pendidikan tertinggi di Angkatan Darat. Para perwira Seskoad menulis dokumen yang kemudian dikenal sebagai Seskoad Paper.
Dikutip dari buku Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004 tulisan Abdoel Fattah, Seskoad Paper intinya mendesak ABRI untuk menahan diri dari keberpihakan dalam pemilihan umum. Paper ini juga menyarankan pimpinan ABRI untuk menjadikan ABRI sebagai kekuatan yang tidak berpihak kepada kelompok mana pun dalam masyarakat, tetapi tetap berdiri atas semua golongan (Jenkins 1984: x).
Kertas ini juga meminta ABRI memegang prinsip bahwa politik ABRI adalah UUD 1945, bukan politik kelompok. Pengkritik merujuk amanat Jenderal Soedirman yang menekankan UU Dasar Negara adalah asas dan politik tentara.
Sekelompok mantan perwira tinggi berpengaruh juga melakukan "pernyataan keprihatinan". Hal itu diumumkan pada 12 April 1978 oleh KSAD JenderalWidodo.
Kritik Mahasiswa atas Dwifungsi
Antara 1974-1978, banyak mahasiswa melakukan aksi antipemerintah dan ABRI (Jenkins 1984: 263). Keberpihakan ABRI kepada Golkar pada waktu itu menyebabkan tentangan mahasiswa berlanjut.
Sekitar 1978, di Jakarta dan Bandung banyak mahasiswa memasang poster dan menulis kaosnya dengan kalimat "Kembalikan ABRI kepada Rakyat" (Salim Said 2001: 24). Mahasiswa bertindak demikian lantaran ABRI dinilai sudah jauh dari rakyat dan menjadi milik Soeharto dan Golkar, serta digunakan untuk membela kepentingan pribadi/golongan, bukan kepentingan rakyat.
Kritik dari mahasiswa atas dwifungsi ABRI berlanjut hingga jelang lengsernya Soeharto dan setelah itu. Pada 20 Mei 1998, warga Universitas Gadjah Mada menuntut Soeharto mundur sebagai syarat reformasi dan menuntut "Kembalikan ABRI pada Rakyat", juga menolak segala tindakan kekerasan dalam perjuangan reformasi (Diro Aritonang 1999: 120).
(nir/twu)