Begini Cerita di Balik Usulan Penghapusan Sekolah Inklusif, Maknanya Dalam

ADVERTISEMENT

Begini Cerita di Balik Usulan Penghapusan Sekolah Inklusif, Maknanya Dalam

Nikita Rosa - detikEdu
Sabtu, 19 Apr 2025 12:00 WIB
Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas RI, Deka Kurniawan (tengah)
Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas RI, Deka Kurniawan (tengah)/Foto: Nikita Rosa Detikedu
Jakarta -

Komisi Nasional Disabilitas RI telah mendorong penghapusan konsep sekolah inklusif kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Usulan ini lantaran label yang kerap diberikan kepada sekolah inklusif.

Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas RI, Deka Kurniawan, mengatakan jika pihaknya telah melakukan advokasi kepada Kemendikdasmen dalam membuat regulasi iklim pendidkan inklusif. Salah satu advokasi yang berhasil didorong adalah mengubah paradigma inklusif.

"Dalam banyak pandangan dan memang sudah terbentuk sejak lama bahwa inklusi ini adalah label," tegas Deka dalam Festival Peduli Autisme 2025 di Sekolah Tunas Global, Depok, Jawa Barat, Sabtu (19/4/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini adalah sekolah inklusi, ada sekolah reguler. Nah kalau sekolah itu dilabel inklusi justru jadi nggak inklusi. Jadi inklusi adalah filosofi nilai bukan sekolah inklusif," tambahnya.

Menurutnya, sekolah tidak perlu memberikan label inklusif untuk menjalankan peran-peran inklusifitas.

ADVERTISEMENT

Deka mengatakan jika pihaknya mendorong agar sekolah di bawah Kemendikdasmen maupun Kementerian Agama bisa memfasilitasi hal ini. Menurutnya, sekolah juga tidak bisa membatasi jika anak dalam spektrum autisme ingin bersekolah.

"Anak autis boleh sekolah, tentu. Secara scientific, kita perlu memiliki ukuran-ukuran kapan saatnya dia sudah mulai. Bukan tidak boleh, tapi efektif atau tidak dia siap bersekolah," jelasnya.

"Tapi prinsip dasarnya adalah semua penyandang disabilitas dia berhak sekolah di sekolah yang terdekat. Nggak mesti ke sekolah khusus, sekolah SLB (Sekolah Luar Biasa), sekolahnya berlabel inklusi. Tapi semua sekolah tidak boleh menolak," tegasnya.

Deka mengatakan jika paradigma yang ditekankan sekarang adalah right base bukan charity base. Apabila charity base, anak penyandang disabilitas seperti autisme akan diperlakukan secara berbeda. Hal ini juga dapat berimplikasi jika anak-anak ini tidak perlu bersekolah.

"Sehingga mereka tidak memenuhi hak yang harusnya didapatkan oleh setiap anak disabilitas yang mempunyai hak setara dengan yang lain. Salah satunya hak pendidikan," ujar Deka.

Hal ini berbeda dengan right base di mana semua anak disabilitas berhak untuk mengenyam pendidikan di sekolah.

"Ada anggaran, nggak ada anggaran. Ada SDM (Sumber Daya Manusia) atau nggak ada ada SDM. Kewajiban itu melekat sehingga harus terus ada upaya," pungkasnya.




(nir/nwy)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads