Abu Qilabah adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan kesabaran dan rasa syukurnya yang luar biasa dalam menghadapi segala ujian hidup. Sikapnya yang selalu bersyukur atas ketetapan Allah menjadikannya sosok yang patut diteladani oleh setiap Muslim.
Kisah hidup Abu Qilabah penuh dengan pelajaran berharga tentang keikhlasan dan keteguhan iman di tengah cobaan. Dengan ketakwaan yang mendalam, ia menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada rasa syukur dan kesabaran dalam menerima takdir Allah.
Siapa Abu Qilabah?
Abu Qilabah adalah salah seorang sahabat Nabi yang berasal dari Bashrah dan dikenal sebagai ahli ibadah yang zuhud. Menurut buku Kearifan Islam karya Maulana Wahiduddin Khan, beliau menghabiskan hidupnya dalam ketakwaan hingga wafat di Syam pada tahun 104 H.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sosoknya dikenal memiliki hati yang selalu bersyukur atas segala ketetapan Allah dan semangat yang tinggi dalam mencari ilmu.
Suatu hari, seseorang bertanya kepadanya, "Siapakah orang yang paling kaya?"
Dengan penuh kebijaksanaan, Abu Qilabah menjawab, "Orang yang paling kaya adalah dia yang selalu bersyukur atas apa yang telah Allah berikan kepadanya."
Orang itu pun melanjutkan pertanyaannya, "Lalu siapakah orang yang paling berilmu?" Abu Qilabah kembali menjawab, "Orang yang senantiasa menambah pengetahuannya dan mengambil hikmah dari segala yang Allah berikan kepadanya."
Kisah Abu Qilabah yang Selalu Sabar dan Bersyukur
Diceritakan dari buku Rahasia Dahsyat di Balik Kata Syukur karya Yana Adam, kisah Abu Qilabah yang selalu sabar dan bersyukur berdasar dari riwayat Abdullah bin Muhammad.
Suatu hari, Abdullah bin Muhammad mengisahkan perjalanannya di daerah perbatasan, tepatnya di wilayah Arish, Mesir. Di tengah perjalanan, ia melihat sebuah kemah kecil yang tampak begitu sederhana, seolah menunjukkan bahwa pemiliknya hidup dalam keterbatasan.
Rasa penasaran pun akhirnya membawanya mendekat untuk melihat siapa yang tinggal di dalamnya.
Saat memasuki kemah, ia mendapati seorang laki-laki yang terbaring lemah. Namun, bukan hanya sekadar lemah, tubuhnya telah kehilangan tangan dan kaki, pendengarannya terganggu, dan matanya tak lagi bisa melihat.
Satu-satunya yang masih berfungsi dengan baik hanyalah lisannya, yang terus berzikir memuji Allah. Dengan penuh ketulusan, lelaki itu mengucapkan doa, "Ya Allah, berilah aku ilham untuk tetap bersyukur atas nikmat yang Engkau anugerahkan kepadaku. Engkau telah memuliakan aku dibanding banyak ciptaan-Mu yang lain."
Tergerak oleh keadaannya, Abdullah pun bertanya, "Wahai saudaraku, nikmat Allah mana yang masih bisa engkau syukuri?"
Lelaki itu tersenyum tipis dan berkata, "Wahai saudaraku, jangan berkata demikian. Demi Allah, seandainya lautan datang untuk menenggelamkanku, atau gunung menghancurkanku, atau langit runtuh menimpaku, aku tetap tidak akan mengatakan apa pun selain rasa syukur."
Merasa semakin penasaran, Abdullah bertanya lagi, "Bersyukur atas apa?"
Lelaki itu menjawab dengan penuh keyakinan, "Tidakkah engkau melihat bahwa Allah masih menganugerahiku lisan yang selalu bisa berdzikir dan bersyukur? Selain itu, aku masih memiliki seorang anak yang selalu menuntunku ke masjid saat sholat dan menyuapiku. Namun, sudah tiga hari ini ia belum pulang. Bisakah engkau membantuku mencarinya?"
Abdullah pun mengiyakan permohonan itu dan segera pergi mencari sang anak. Namun, betapa terkejutnya ia ketika menemukan jenazah anak laki-laki itu di tengah gundukan pasir, dikelilingi oleh kawanan singa. Ia telah diterkam dan menjadi mangsa binatang buas.
Kesedihan menyelimuti hati Abdullah. Ia bingung bagaimana cara menyampaikan kabar duka ini kepada sang ayah. Dengan hati-hati, ia kembali ke kemah dan berkata, "Wahai saudaraku, sudahkah engkau mendengar kisah Nabi Ayyub?"
Lelaki itu mengangguk pelan. Abdullah melanjutkan, "Allah mengujinya dengan kehilangan harta. Bagaimana ia menghadapinya?"
"Ia bersabar," jawab lelaki itu.
"Allah juga mengujinya dengan kefakiran. Bagaimana ia menyikapinya?"
"Ia tetap bersabar," katanya lagi.
"Lalu, ketika semua anak-anaknya meninggal, bagaimana ia menghadapi cobaan itu?"
"Ia masih bersabar," jawabnya dengan mantap.
Akhirnya, Abdullah berkata dengan penuh kelembutan, "Saudaraku, anakmu telah aku temukan. Ia telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas. Semoga Allah memberikan pahala yang besar untuk kesabaranmu dan menguatkan hatimu."
Mendengar itu, lelaki dalam kemah tersebut menarik napas panjang dan berkata, "Alhamdulillah. Allah tidak meninggalkan keturunan bagiku yang berbuat maksiat sehingga mereka harus diazab di neraka."
Usai mengucapkan kalimat itu, ia pun mengembuskan napas terakhirnya. Abdullah segera menutup jenazahnya dengan jubahnya dan mencari bantuan. Tak lama kemudian, datanglah empat orang pria berkuda yang langsung mengenali sosok dalam kemah itu.
"Ini adalah Abu Qilabah, sahabat dari Ibnu Abbas," kata mereka. "Ia pernah ditawari jabatan sebagai hakim oleh khalifah, namun ia menolaknya. Ia lebih memilih hidup sederhana, hingga akhirnya mengembuskan napas terakhirnya di tempat ini."
Dari kisah sahabat Nabi Abu Qilabah, kita bisa belajar bahwa kesabaran dan rasa syukur adalah kunci menghadapi ujian hidup. Meskipun mengalami banyak cobaan, ia tetap berprasangka baik kepada Allah dan tidak pernah mengeluh atas takdir dari Allah.
Selain itu, Abu Qilabah mengajarkan bahwa kekayaan sejati bukanlah harta, tetapi hati yang selalu bersyukur. Dengan keimanan yang kokoh, seseorang dapat menemukan ketenangan dan kebahagiaan, bahkan di tengah kesulitan yang paling berat.
Wallahu a'lam.
(hnh/lus)
Komentar Terbanyak
Kisah Wafatnya Nabi Sulaiman AS: Bukti Jin Tidak Mengetahui Hal Ghaib
Makanan Mengandung Babi Bersertifikat Halal Ditarik dari Peredaran
Makanan Mengandung Babi 'Berlabel Halal', BPJPH: Kami Selidiki dan Beri Sanksi