Kurikulum Merdeka meniadakan adanya format penjurusan di SMA yang biasa dikategorikan sebagai IPA/IPS/Bahasa. Baru sebentar kebijakan tersebut diterapkan, kini Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) sudah akan mengembalikan format lama itu.
Peneliti kebijakan pendidikan Agustina Kustulasari melihat perubahan ini bisa dipandang secara administrasi atau secara politis. Secara administrasi, perempuan yang disapa sebagai Ari ini menilai kembalinya format penjurusan bukanlah keputusan yang bijak karena peniadaan penjurusan baru dilakukan satu tahun ajaran.
Menurutnya, efektivitasnya belum dapat diukur, belum dapat dilakukan evaluasi, atau asesmen apa pun. Selain itu, belum dapat diketahui apakah kebijakan sebelumnya gagal atau tidak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi alasan atau urgensi untuk perubahan kurikulum itu menjadi tidak kuat ya, tidak kuat. Tidak ada landasan kuat untuk mengubah kebijakan karena yang kemarin belum dievaluasi. Itu kalau sekali lagi kalau dari (perspektif) administrasi," jelas Ari kepada detikEdu, Kamis (17/4/2025), ditulis Jumat (18/4/2025).
Sedangkan dalam perspektif politis, perubahan kebijakan dapat dilakukan kapan saja. Jika memang dirasa perlu, maka dapat dilakukan.
"Perlu itu dalam arti perlu secara politis, perlu secara apapun argumentasi yang mau digunakan," kata pengajar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
"Sehingga kalau ditanya apakah ini tepat waktu atau too premature, ya tinggal persepsi mana argumen mana yang mau kita gunakan," imbuhnya.
Dampak Perubahan Penjurusan
Ari menjelaskan dengan kembalinya penjurusan di SMA ke format lama, tetap ada dampak institusional di seperti sekolah-sekolah yang harus menyesuaikan. Pada tataran administratif di sekolah akan ada perubahan.
"Istilahnya rapor aja tuh langsung berubah ya. Jadi ada perubahan dari yang besar, seperti penganggaran, maupun kecil-kecil seperti bentuk pelaporan dan lain sebagainya itu," kata Ari.
Namun, ia juga menyampaikan apabila ada suatu kebijakan yang baik dilakukan, maka dampak administrasi tersebut harus mengikuti begitu saja. Kecuali apabila dampak administratifnya terlalu mahal, maka yang dibicarakan adalah soal cost effectiveness-nya.
Jika ada suatu kebijakan yang baik yang akan dilaksanakan, Ari mengingatkan sebaiknya tidak berkeluh kesah dengan dampak administrasinya.
"I'm not saying bahwa kebijakan ini baik ya. Sekali lagi bahwa kalau kita melihat sebuah kebijakan itu baik, dampak administrasi itu tidak semestinya dijadikan alasan untuk menolak kebijakan itu karena bagaimanapun apa pun kebijakannya selalu ada dampak administrasinya," ungkap lulusan Department of Educational Policy and Leadership, Ohio State University itu.
"Kecuali, sekali lagi dampak administrasinya itu luar biasa, sehingga itu biayanya luar biasa sehingga itu taking resources away dari yang lain misalnya, kemudian jadi kita bicara soal cost effectiveness ini," lanjutnya.
Sementara, jika dilihat dari dampak perubahan nyata (perubahan nyata), maka menurut Ari ini lain hal.
"When we talk about actual change, itu sebenarnya bahkan kita bisa merefleksikan ya, selama ini perubahan apa pun dalam kebijakan pendidikan kita sudahkah berdampak signifikan?" ujarnya.
"Jadi sebuah kebijakan yang diterapkan selama 10 tahun apakah lebih berdampak dengan sebuah kebijakan yang dilaksanakan baru 1-2 tahun?," lanjutnya.
Ia menegaskan ukuran panjangnya suatu kebijakan tidak dapat digunakan untuk mengatakan bahwa kebijakan tersebut berdampak pada perubahan nyata atau tidak.
Selain itu, Ari menyebut dalam kajian kebijakan pendidikan disadari ada yang disebut sebagai loose-coupling.
"Institusi pendidikan itu loosely-coupled organization. Ini relevan di Indonesia maupun di konteks negara lain. Artinya apa? Salah satu, salah satunya ini bisa diartikan begini, apa yang terjadi di dalam kelas itu bisa jadi it happens in vacuum," terang Ari.
"Artinya pengaruh apa pun yang ada di luar kelas itu bisa jadi tidak mempengaruhi what is actually happening in the classroom. Sehingga banyak perubahan yang dilakukan ya, dari mulai peningkatan kesejahteraan guru seperti sertifikasi guru maupun pelatihan-pelatihan dan lain sebagainya, itu tetap saja tidak berdampak pada kualitas pendidikan di dalam kelas, kualitas pengajaran di dalam kelas," paparnya.
"I'm not saying kalau ini terjadi, I'm saying bahwa itu secara teori bisa terjadi seperti itu. Artinya bahwa ini is a good thing and a bad thing kadang-kadang kala. Bahwa school atau educational system itu loosely-coupled system ya," kata Ari.
"Artinya bahwa perubahan apapun di luar sana, kelas maupun sekolah itu menjadi bumper dan buffer, sehingga itu bisa jadi tidak betul-betul mempengaruhi kerja guru, kerja baik guru di dalam kelas," imbuhnya.
Di sisi lain, ia menjelaskan, apabila kerja di dalam kelas tidak baik, bisa jadi apa pun kebijakan yang diterapkan dan pendekatan yang dilakukan tidak memengaruhi apa yang terjadi dalam kelas.
"On the other hand, kalau kerja di dalam kelas itu baik, bisa jadi juga apa pun kebijakan di luar sana apapun mekanisme, apa pun pendekatan yang dilakukan di luar sana itu bisa jadi tidak cukup mempengaruhi apa yang sebenarnya terjadi di dalam kelas."
"Sehingga sekali lagi, ini tinggal kita menggunakan argumentasi yang mana ada dua argumentasi yang akan sama-sama kuat di situ berkait apakah ini akan berdampak atau tidak berdampak," ujarnya.
(nah/faz)