Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Q.S. al-Qadr/97:1-5).
Menarik untuk dikaji redaksi yang digunakan surah Al-Qadr ini. Pertama yang perlu diperhatikan mengapa menggunakan kata ganti (dhamir) hu yang kemudian para ulama tafsir memaknainya dengan Al-Qur'an dan ada juga dengan Jibril. Mengapa menekankan al-qadr, kenapa bukan lailah al-qadha'? Mengapa penekanan pada malam (lailah al-qadr), mengapa bukan nahar al-qadr, bukankan justru di siang hari kita menunaikan puasa, salahsatu Rukun Islam? Apa sesungguhnya makna lailah menurut bahasa, jumhur ulama, dan kalangan sufi?
Baca juga: Keajaiban Al-Qur'an (33) |
Kalangan ulama tafsir mengatakan bahwa yang turun pada malam Lailah al-Qadr (LQ) ialah turunnya Al-Qur'an ke langit bumi secara sekaligus (al-inzal), kemudian turun berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan jibril.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika wahyu Al-Qur'an masih menjadi Kalam al-Nafs atau Kalam al-Dzati belum disebut Al-Qur'an. Nanti disebut Al-Qur'an ketika sudah ditransformasikan menjadi Kalam al-Lafdz, ketika sudah menggunakan huruf-huruf dan tanda baca yang berbahasa Arab. Ketika masih dalam bentuk Kalam Nafs, tak seorang pun tahu wujudnya seperti apa dan menggunakan bahasa apa. Dari Kalam al-Nafs ada yang pernah ditrasformasi menjadi Kitab Taurat dengan menggunakan bahasa Hebrew (Ibrani) karena dialamatkan kepada Nabi Musa yang sehari-harinya menggunakan bahasa Hebrew. Ada juga ditransformasikan ke dalam bentuk Kitab Injil dengan menggunakan bahasa Suryani, karena dialamatkan kepada Nabi Isa yang sehari-harinya menggunakan bahasa Suryani. Ketika ditransformasikan menjadi Al-Qur'an yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad Saw, otomatis menggunakan bahasa Arab karena bahasa sehari-hari Nabi Muhammad adalah bahasa Arab.
Pertanyaannya lebih lanjut, siapa yang membahasa Hewbrewkan Kitab Injil, membahasa Suryanikan Kitan Injil, dan membahasa Arabkan Al-Qur'an? Apakah kitab-kitab tersebut sejak dari sono-nya menggunakan bahasa-bahasa tersebut, atau Malaikat Jibril yang berperan mengartikulasikannya kepada nabi-nabi tersebut sesuai dengan bahasanya masing-masing, atau Nabi yang menerima wahyu itu yang mengartikulasikannya ke dalam bahasa kaumnya. Kita belum mendapatkan informasi yang jelas tentang hal ini.
Ada isyarat dalam Al-Qur'an yang menekankan Jibril menyampaikan Al-Qur'an dengan menggunakan bahasa Arab yang jelas:
Dan sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (Q.S. al-Syura/26:192-195).
Sedangkan ayat lain mengisyaratkan Al-Qur'an sejak zaman azalinya sudah menggunakan bahasa Arab, sebagaimana difahami di dalam ayat:
Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Al-Qur'an) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Q.S. Yusuf/12:1-2).
Dalam ayat lain Allah Swt mengisyaratkan Al-Qur'an turun dengan menggunakan cita-rasa Arab (lisanan 'arabiyyan): Dan sebelum Al-Qur'an itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini (Al-Qur'an) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang lalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-Ahqaf/46:12). Antara kata Qur'anan 'Arabiyyan (Al-Qur'an yang berbahasa Arab) dan Liasanan 'Arabiyyan (Al-Qur'an yang bercita rasa Arab) aksentuasinya berbeda. Yang pertama lebih menekankan Al-Qur'an menggunakan bahasa Arab secara ketat dan yang kedua menekankan Al-Qur'an menggunakan cita-rasa Arab.
Namun ada satu hadis dari 'Aisyah menerangkan bahwa wahyu yang paling berat diterima Nabi Muhammad ialah yang turun dalam bentuk bunyi lonceng, Kadang-kadang Nabi keringatan di musim dingin begitu beratnya menerjemahkan suara bunyi lonceng itu ke dalam bahasa Al-Qur'an sebagaimana adanya sekarang. Hadis ini bisa difahami seolah-olah yang membahasa Arabkan Al-Qur'an ialah Nabi Muhammad Saw. Allahu a'lam.
Kata Lailah al-Qadr diperoleh perdebatan yang sangat mendalam. Apakah kata lailah yang secara harfiah berarti malam atau menekankan maknah simbolik (majazi). Dalam bahasa Arab, khususnya dalam syair-syair bahasa Arab, kata lailah bisa memiliki makna. Lihat saja sebuah novel fenomenal berjudul Laila Majnun, sebuah Novel sufistik yang ditulis oleh seorang sufi bernama Syekh Maulana Hakim Nidhami (1155-1223M). Dalam Novel ini Laila memang nama putri seorang bangsawan tetapi kata lailah diimajinasi sedemikian rupa sehingga lailah menyimpan makna cinta sedemikian dalam. Perhatikan cuplikan syair dalam buku tersebut:
"Oh, lilin jiwaku. Jangan kau siksa diriku ketika aku mengelilingimu. Kau telah memikatku, merampas tidurku, akalku juga tubuhku."
Laila adalah cahaya malam, Majnun adalah sebatang lilin. Laila adalah keindahan, Majnun adalah kerinduan. Laila menabur benih cinta, Majnun menyiraminya dengan air mata. Laila memegang cawan cinta, Majnun berdiri mabuk oleh aromanya.
"Aku bagaikan orang yang kehausan. Kau pimpin aku menuju sungai Eufrat, lalu sebelum sempat aku minum, kau menarikku dan kembali ke kawasan panas membara. Padang pasir yang tandus. Kau mengajakku ke meja jamuan, tapi tidak pernah mempersilakanku makan! Mengapa kau menampakkannya kepadaku di awal, jika tidak pernah berniat untuk membiarkan aku memiliki hartaku.?"
Perhatikan juga syair pendek seorang pengantin baru yang takut kehilangan malam:
"Ya laila thul, ya shubh qif!" (Wahai malam bertambah panjanglah, wahai subuh berhentilah).
Kedua syair di atas mengambil makna simbolik (majazi) dari lailah. Syair pertama lailah lebih ditekankan kepada makna siboliknya sebagai cinta yang sangat mendalam, keindahan, kepasrahan, keheningan, dan ketulusan. Syair kedua malam melambangkan kebahagiaan dan kemsraan yang amat mendalam sehingga takut dipisahkan oleh keringnya siang. Dalam Lisan al-'Arab, kamus bahasa Arab paling standard (15 jilid), kata lailah juga diartikan banyak arti. Selain berarti malam juga bisa berarti gelap, hening, dan bahkan salahsatu artinya ialah perempuan.
Jika lailah menjadi pangkalan pendaratan sesuatu yang bersifat sakral, yang datang sekali setahun di dalam bulan Ramadhan, maka patut dipertanyakan, lailah dalam arti apa yang lebih tepat menjadi pangkalan pendaratan dhamir hu itu? Apakah lailah dalam arti fakta, yaitu menanti terbenamnya matahari dan menunggu larutnya malam, atau lailah dalam arti symbol, yaitu terwujudnya suasana lailiyyah di dalam jiwa hamba-Nya berupa keheningan, kepasrahan, keakraban, kedamaian, kerinduan, cinta kasih amat mendalam, dan kekhusyukan. Jikamerujuk kepada makna kedua (simbolik), maka tidak mesti harus menunggu terbenamnya matahari dan larutnya malam. Bukankah suasana hening, pasrah, akrab, damai, rindu, keheningan, kepasrahan, keakraban, kedamaian, cinta kasih, dan khusyuk bisa muncul di siang hari. Bukankah tidak ada jaminan jika suasana batin seperti itu mesti muncul di malam hari. Betapa banyak orang merasakan amarah dan dendam kusumat (nahariyyah) di malam hari dan betapa banyak juga orang merasakan kedamaian, kepasrahan, kerinduan, dan kekhusyukan (lailiyyah) di siang hari.
Lagi pula, jika LQ acuannya adalah malam, pertanyaan berikut akan muncul.
Bagaimana sekiranya LQ turun bertepatan pukul 02 malam waktu Indonesia, sementara belahan bumi lain seperti Amerika Serikat berada pada posisi jam 02 siang? Bagaimana jika LQ turun pukul 02 waktu Saudi Arabia, berarti di Indonesia keburu pagi, tidak lagi malam. Padahal kita semua tahu bahwa waktu turunnya LQ hanya sekejap (lailan), yakni sebagian kecil dari malam (qith'un min al-lail). Sudah pasti Allah swt Maha Adil, tidak membeda-bedakan antara hambanya yang taat di berbagai tempat, baik di Indonesia, Saudi Arabia, maupun di AS.
Bagi para sufi, mengejar peristiwa LQ tidak terlalu penting, karena bagaimanapun LQ hanya bagian dari makhluk, sama dengan syurga juga makhluk. Yang paling penting bagi mereka ialah mencari Tuhan Sang Pencipta LQ dan syurga. Apakah masih perlu LQ dan syurga di dalam pelukan Sang Pencipta segalanya?
Baca juga: Misteri Air (2) |
Prof. Nasaruddin Umar
Menteri Agama Republik Indonesia
Imam Besar Masjid Istiqlal
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)
(lus/lus)
Komentar Terbanyak
Kisah Wafatnya Nabi Sulaiman AS: Bukti Jin Tidak Mengetahui Hal Ghaib
Makanan Mengandung Babi Bersertifikat Halal Ditarik dari Peredaran
Makanan Mengandung Babi 'Berlabel Halal', BPJPH: Kami Selidiki dan Beri Sanksi