Semalam tercenung mendengar ustadz: Saya tidak pernah mudik karena mudik merobek Ramadhan, saya ingin utuh memberikan Ramadhan saya utuh kepada Allah. Jangan sampai Ramadhan robek oleh karena pulang kampung. Yang demikian itu juga nasihat dari guru saya yang mendalam, karena itu sejak bertahun tahun saya tidak pernah mudik waktu bulan puasa. Kapan mudik ? Mudik setelah puasa yaitu waktu Idul Fitri.
Sayang sang ustadz tidak menjelaskan, apa yang merobek puasanya karena mudik itu. Penulis tercenung, apa esensi mudik tidak mengandung nilai yang baik dan bisa membatalkan kesempurnaan hamba beribadah?
Dalam mudik atau pulang kampung ada beberapa fakta yang telah dan sedang terjadi sejak lama hingga kini. Bahkan Rasulullah pun mudik sejak beliau bermigrasi ke Madinah dari kampung kelahirannya di Mekah. Beliau rindu Mekah yang membesarkannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tradisi mudik yang menyejarah memang bagian dari pergerakan migrasi orang orang dari dan ke desa atau sebaiknya. Meskipun realitanya perjalanan mudik juga dipengaruhi faktor ekonomi, sosial budaya ini lebih menunjukkan pergeseran perjalanan orang orang dari kota kota pusat urban ke desa. Meskipun ada fenomena sebaliknya. Apakah hanya kaum pekerja yang mudik? Tentu tidak. Mari kita lihat sebagian fakta fakta yang terjadi dari tahun ke tahun.
A.Mudik Santri
Kaum pekerja adalah fenomena yang tak dapat dibantah mudiknya. Sudah pasti mereka mudik sejak gelombang besar orang orang merantau ke kota kota besar tahun 1970-an. Namun dalam kalendar pendidikan mudiknya kaum terpelajar kadang kadang terabaikan dalam menyusun jadwal kalendar akademiknya, kecuali dunia santri.
Dunia pesantren memperlihatkan bagaimana keseharian yang menggambarkan suasana detak kehidupan rihlah dan distribusi pengetahuan berhenti menjadi senyap karena ratusan bahkan ribuan santrinya mudik. Tak peduli tahun ajaran baru dimulai sedang atau di tengah tengahnya sedang berjalan. Ini tentu untuk model pesantren berkurikulum nasional yang tidak akur bulan masihiyah dan hijriyahnya.
Pokoknya mudik menerobos semua agenda demi jadwal besar 1 Syawal. Kita ditunjukkan dengan bis bis yang membawa kontingen kaum santri ke berbagai penjuru kota di Indonesia. Mereka yang biasanya menghuni lembaga pendidikan tertua ini dengan riang gembira pulang ke titik titik tertentu kampung halamannya. Ini belum mereka yang non bis alias dijemput masing masing orang tua.
Kita menyaksikan misalnya pesantren pesantren di Jawa Timur dengan kontingen daerah daerah dan membuat sunyi kehidupan pondok. Meskipun ada beberapa santri yang tinggal dengan alasan berbeda beda.
Tentu saja gelombang santri mudik tidak menyala di lembaga lembaga yang anak didiknya sudah bisa mengatur kepulangannya sendiri dan mungkin malah memboikot jadwal pembelajaran (kuliah) misalnya ha, karena jadwalnya nampak normal normal saja, tidak ada empati mudik. Namun kekritisan mereka biasanya tidak berdaya melawan Tuslag atau Toeslag (berasal dari bahasa Belanda). Tuslah secara dasar berarti tambahan pembayaran berdasarkan perimbangan yang dibebankan karena situasi jalanan karena alasan geografis. Meski sekarang kurang releven karena jalan tol dibangun dimana mana.
Selain mereka kaum pelajar, tentu kaum pekerja adalah kaum yang dominan, fenomenal dalam mudik, kita sudah tahu efeknya terutama sektor rumah tangga. Merantau menjadi pilihan dan mudik seolah kegembiraan level yang paling tinggi, bertemu sanak kadang. Sehingga pulang adalah titik perjalanan balik ruhani, bukan soal gaya gayaan membawa dan menunjukkan hasil bekerja.
Di masa kini, migrasi memang possibility bukan lagi takdir. Sehingga pindah, ataupun hijrah adalah kondisi biasa, penyesuaian ketrampilan diri dengan lapangan pekerjaan plus peningkatan ekonomi. Beruntung mereka sekarang juga terbantu dengan amal lembaga lembaga pemerintah maupun swasta dalam penyedian bis gratis alias mudik bersama gratis.
B. Mudik dalam Sudut Pandang Sosiologi
Kalau kita melihat sejak melimpahnya usia kaum produktif (pelajar - pekerja ) yang terdistribusi dan mengisi urbanisasi ke kota kota besar, maka mudik pemicunya adalah faktor perpindahan ini. Orang orang di kota berkelompok karena ikatan kebutuhan sesaat, bekerja belajar.
Sulit kelompok masyarakat itu menjadi organisasi paguyuban, sebuah ikatan yang menyatukan lahir batin anggotanya. Merekan hanya akan menjadi komunita patembayan. Karena itu mudik dianggap sebagai kesempatan emas bertemu keluarga besar setelah setahun berkutat dengan rutinitas, saatnya mengisi kembali kekosongan ruhani.
Memang pulang setiap saat bisa dilakukan apalagi mereka yang mempunyai kelebihan financial dan kedudukan strategis untuk cuti, namun momen dengan saudara dari berbagai level nasab (garis keturunan yang menunjukkan strategi usia) dan pohon keluarga tak mudah. Ini semacam melting pot yang menemukan mereka. Biasanya melting pot dianalogikan untuk musim haji.
Namun melting pot Idul fitri mungkin dapat dianalogikan sebagai pertemuan keragaman profesi, satu garis keturunan. Sejauh ini hanya Pandemi dan mungkin perang yang bisa menghentikan massal pergerakan mudik.
(bersambung...)
Dr.Hj. Ala'I Nadjib
Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PBNU
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
Kisah Wafatnya Nabi Sulaiman AS: Bukti Jin Tidak Mengetahui Hal Ghaib
Makanan Mengandung Babi Bersertifikat Halal Ditarik dari Peredaran
Makanan Mengandung Babi 'Berlabel Halal', BPJPH: Kami Selidiki dan Beri Sanksi