Sosok anggota DPR Shintya Sandra Kusuma tengah menyita perhatian publik lantaran diduga terlibat dalam kasus suap Ketua KPU Brebes Manja Lestari Damanik.
Kader PDI Perjuangan itu disebut-sebut melakukan manipulasi suara dalam pemilihan legislatif (Pileg) 2024, lalu.
Selain Manja Lestari Damanik, perkara ini juga menjerat Ketua Bawaslu Brebes, Trio Pahlevi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari hasil pemeriksaan terungkap, Manjda dan Trio terbukti dinyatakan bersalah oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Keduanya lantas dicopot dari jabatan masing-masing atas tuduhan pelanggaran kode etik serius.
Dalam persidangan DKPP, bukti mengungkap bahwa dana suap diduga disalurkan melalui KPU dan Bawaslu Brebes untuk memastikan kemenangan Shintya. Namun demikian, meski terbukti ada penggelembungan suara, tapi kasus ini belum diproses secara hukum.
Merespon hal tersebut, pengamat politik, Ray Rangkuti ikut bereaksi. Menurutnya, apa yang terjadi di Brebes adalah pelanggaran politik yang sangat fatal.
"Ini bukan hanya soal kesalahan teknis atau pelanggaran etik. Ini adalah masalah yang melibatkan uang, kekuasaan, dan pengaruh politik," katanya.
Selain menyoroti Shintya, kasus ini juga menyoroti lemahnya pengawasan dalam struktur penyelenggaraan pemilu di Brebes.
Adapun dalam amar putusan DKPP secara eksplisit menyebutkan, bahwa dana besar dialirkan melalui KPU dan Bawaslu Brebes demi memastikan kemenangan Shintya Sandra Kusuma.
"Ini bukan sekadar rumor, ini fakta hukum yang harus ditindaklanjuti secara pidana. Jika dibiarkan, ini menjadi tanda bahwa demokrasi kita telah dijual kepada para pemilik uang," kata Ketua YLBH Garuda Kencana Indonesia Cabang Tegal, Agus Winarko.
Menurutnya, hal ini jelas melanggar Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 532 tentang tindak pidana pemilu.
Namun sayangnya, lanjut Agus, hingga kini belum ada langkah hukum yang nyata terhadap pihak yang diduga menerima manfaat dari kejahatan pemilu ini.
"Apakah hukum hanya berani menindak mereka yang kecil sementara para aktor besar terus melenggang bebas?" tanya dia.
Lebih lanjut dirinya berpendapat, meski DKPP telah mengambil langkah tegas dengan mencopot Ketua KPU dan Bawaslu Brebes, seharusnya penyelidikan terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat berlanjut ke ranah pidana.
Sementara itu, Direktur Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto mengatakan, konsekuensi hukum seharusnya tidak berhenti pada sanksi etik.
"Tidak hanya PAW (pergantian antar waktu), tetapi juga ada dampak hukum, baik pidana maupun perdata, bagi pelaku penggelembungan suara. Jika ini dibiarkan, maka keadilan telah mati," ujarnya.
Menurutnya, tidak jelasnya hukum dalam kasus ini menimbulkan kecurigaan, bahwa ada perlindungan sistematis terhadap aktor politik yang berkepentingan.
"Jika kasus ini tidak diselidiki lebih dalam, maka demokrasi Indonesia berada di ambang kehancuran," katanya.
Skandal Politik di Brebes
Data yang dihimpun menyebutkan, diduga manipulasi suara dilakukan dengan instruksi langsung dari KPU dan Bawaslu Brebes kepada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Angka-angka suara diubah, suara partai tertentu diperbesar, dan mereka yang bekerja sama disinyalir mendapat imbalan uang.
Putusan DKPP mengungkap, bahwa tiga anggota KPU Brebes, yakni Wahadi, Aniq Kanafillah Aziz, dan Muhammad Taufik ZE mendapat sanksi peringatan keras terakhir. Sementara empat anggota Bawaslu Brebes lainnya hanya menerima peringatan.
Pengamat politik, Ray Rangkuti menilai, jika terbukti ada penggelembungan suara, maka yang bersangkutan bisa terdepak dari kursi DPR di Senayan.
"Tidak ada tempat bagi caleg yang memperoleh kursi dengan cara curang di Senayan. Ini pelanggaran fatal yang harus disanksi tegas," tutupnya.
Shintya Sandra Kusuma dan Anggota PPK Buka Suara
Shintya Sandra Kusuma mengaku bahwa dirinya tak tahu menahu soal arahan itu. Dia menegaskan perolehan suara yang ditetapkan sudah sesuai dengan data C1 hasil dan D hasil.
"Tidak tahu menahu soal itu (arahan KPU). Yang jelas, rekap perolehan suara yang ditetapkan sudah sesuai dengan C1 dan D hasil. Tidak dari hasil penambahan atau penggelembungan suara," kata Shintya, Kamis (30/1/2024).
Dia juga mengatakan uang yang dibagi-bagi oleh KPU dan Bawaslu bukan berasal dari dirinya. Menurutnya, hal itu merupakan penggiringan opini.
"Terkait bagi-bagi uang, itu bukan dari saya. Ada yang sengaja menggiring opini negatif ke saya," tegasnya.
Sementara itu, mantan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Divisi Teknis, Samsaidi mengakui pernah mendapatkan arahan untuk menambah suara. Namun hal tersebut tidak dilaksanakan.
"Dengar ada yang bagi uang untuk menambah suara caleg, tapi semua PPK sepakat untuk mengembalikan uang itu. Semua tidak melaksanakan arahan menambah suara. Jadi yang direkap itu benar benar sesuai C1," kata Samsaidi.
Hal senada pun turut diungkapkan oleh Mantan Ketua PPK Jatibarang Muzaki Miftah. Menurutnya, semua kecamatan telah menolak arahan itu. Sementara uang yang dibagi-bagikan telah dikembalikan.
"Semua sudah paham, ada pembagian uang untuk menambah suara. Tapi kesepakatan PPK menolak dan mengembalikan uang. Rekap kemudian dilakukan sesuai perolehan C1," tutup Muzaki.
(prf/ega)