Pengamat Kebijakan Pendidikan: Ada Tidaknya Penjurusan SMA Itu Niatnya Sama, Tapi...

ADVERTISEMENT

Pengamat Kebijakan Pendidikan: Ada Tidaknya Penjurusan SMA Itu Niatnya Sama, Tapi...

Novia Aisyah - detikEdu
Jumat, 18 Apr 2025 20:00 WIB
Ilustrasi PPDB SMA, SMK, SLB Jawa Barat
Ilustrasi anak SMA. Foto: iStock
Jakarta -

Mana yang lebih baik untuk siswa di Indonesia, tetap ada penjurusan IPA/IPS/Bahasa atau tidak?

Tentu akan ada berbagai pendapat mengenai hal ini, terlebih di kalangan pelaku pendidikan itu sendiri. Mulai dari siswa, guru, hingga tenaga pendidikan di sekolah.

Peneliti kebijakan pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Agustina Kustulasari menilai sebenarnya baik ada penjurusan maupun tidak, niatnya kurang lebih sama. Artinya, siswa diberi sedikit ruang untuk memilih mana yang sesuai dengan minatnya, mana yang sesuai dengan bakat, potensi, dan rencana kariernya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"So ini berarti artinya ini hanya perkara pendekatan. Ini perkara pendekatan karena fundamentally, principally, kita memiliki tujuan yang sama yaitu menginginkan itu berarti ini hanya masalah pendekatan," terang Ari, sapaannya, kepada detikEdu pada Kamis (17/4/2025), ditulis Jumat (17/4/2025).

"Kalau pendekatan yang satu, pendekatannya adalah siswa itu dibebaskan memilih mata pelajaran, kalau di sini itu seperti katakanlah sedikit dibatasi dengan oke kalau IPA itu paketnya ini, lalu IPS itu paketnya ini, gitu kan kira-kira ya. Meskipun pada akhirnya bisa jadi siswa itu memilih yang kurang lebih sama, mungkin juga karena latah karena sistem penjurusan ini toh udah lama sekali ya," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

Kembalinya Penjurusan di SMA Bisa Jadi Tidak Berimbas Besar

Ari menerangkan, karena sistem penjurusan IPA/IPS/Bahasa sudah ada sejak lama sekali di Indonesia, maka sudah terinternalisasi dalam pandangan siswa; orang tua; maupun guru; dan lainnya. Maka menurutnya, melalui Kurikulum Merdeka pun bisa jadi siswa tetap memilih paket yang sama seperti jika sistem penjurusan diterapkan.

Ari mengatakan kembalinya penjurusan, bisa jadi tidak berimbas terlalu besar khususnya pada segi mindset.

"Itu kan salah satu yang diinginkan oleh administrasi sebelumnya itu kan, untuk sedikit membongkar dikotomi IPA-IPS bahasa dan seni dan supaya IPA tidak dianggap hanya anak-anak yang pintar yang masuk IPA," kata Ari.

"Tetapi karena saking internalized-nya, saking institutionalized-nya penjurusan itu sebelumnya, maka bisa jadi baik siswanya, orang tuanya, gurunya, maupun para administratornya itu masih berpikir kurang lebih yang sama," imbuh dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM itu.

Ari turut menyinggung soal kebijakan yang berganti-ganti ketika pemegang jabatan berpindah tangan. Ia menyebut pemerintah perlu duduk bersama untuk membicarakan soal keberlanjutan program dari satu administrasi ke administrasi berikutnya.

"Ini sebuah national consensus yang perlu kita bangun, supaya kita memiliki kepercayaan yang lebih tinggi terhadap institusi pemerintahan," jelasnya.

Saran untuk Pemerintah

Meskipun Ari menilai baik penjurusan maupun tidak memiliki niatnya sama-sama membebaskan siswa memilih mata pelajaran sesuai minatnya, ia menyarankan agar para pembuat kebijakan menunggu sebentar untuk melihat apakah kembalinya IPA/IPS/Bahasa ini sekadar mengembalikan kebijakan lama atau akan membuat sesuatu yang baru.

Pasalnya, kebutuhan kompetensi di tingkat pendidikan tinggi maupun dunia kerja sudah membutuhkan lebih dari sekadar pembagian IPA/IPS/Bahasa. Apa pun bidang studinya, saat ini dibutuhkan pendekatan multidisiplin.

"Nah, seberapa penjurusan ini akan mengakomodasi perubahan zaman ini. Kalau sekadar ke bentuk semula, itu kan berarti sebenarnya sekadar menganulir keputusannya Nadiem ya. Lain kalau kita memikirkan hal yang baru sama sekali," sebut Ari.

Ia mencontohkan, misalnya bagi anak yang ingin belajar soal ilmu komputer. Sementara jika pengaturan mata pelajarannya sama persis seperti format penjurusan IPA sebelumnya, maka menurutnya hal ini tidak mengubah apa pun atau mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.

"Meskipun bisa saja dikatakan kita tidak perlu mengikuti tren. Bisa saja seperti itu, kalau itu yang diputuskan silakan," ujarnya.

"Tetapi satu contoh saja, kalau seorang anak SMA ini tertarik untuk belajar computer science atau digital technology, jurusan mana yang diambil? Kalau ternyata ini lebih didikte kepada apa yang dilakukan oleh universitas-universitas untuk menyaring mahasiswa, berarti kebijakan ini less than ideal," ucap Ari.

"Jadi tidak philosophically ideal tapi lebih ke keputusan teknis untuk menyesuaikan dengan apa yang diputuskan oleh perguruan-perguruan tinggi," katanya lagi.

Ari menyarankan, Kementerian atau para pembuat kebijakan saat ini perlu secara jujur merefleksikan apa yang sebenarnya sedang dilakukan dan apakah benar-benar membuat suatu perubahan.

"Berusaha ke arah sana atau sekadar tidak suka aja dengan kebijakan yang ini, kita balik saja sebelumnya atau kita tidak memberi diri kita cukup waktu untuk memproses sesuatu yang baru," ungkapnya.

Ia mengatakan secara jujur lebih sedikit condong ke arah untuk sebaiknya tidak dulu mengubah format penjurusan, semata agar dapat mengevaluasi terlebih dulu.

"Yang ini kemarin gimana dan mungkin this may work for us lebih baik tanpa mengorbankan rencana pemerintah yang mau melaksanakan Tes Kompetensi Akademik," ujarnya.




(nah/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads