Penggunaan AI oleh Media, Pakar Jelaskan Sejauh Mana Pemanfaatannya

ADVERTISEMENT

Penggunaan AI oleh Media, Pakar Jelaskan Sejauh Mana Pemanfaatannya

Novia Aisyah - detikEdu
Kamis, 17 Apr 2025 08:30 WIB
Ilustrasi AI
Ilustrasi AI. Foto: Getty Images/Supatman
Jakarta -

Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) memang dapat dimanfaatkan secara luas, tak terkecuali oleh awak media.

Dewan Pers sendiri telah mengeluarkan Peraturan Nomor: 1/Peraturan-DP/I/2025 tentang Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Karya Jurnalistik yang diteken pada 22 Januari 2025.

Jurnalis senior Jamalul Insan menilai tidak mungkin untuk menghalangi awak media dalam menggunakan AI misalnya dalam menghasilkan karya audio visual jurnalistik, tetapi penggunaannya harus ada pengawasan di newsroom. Jamal menegaskan, dalam memanfaatkan AI, maka jurnalis perlu benar-benar melakukan cek dan tidak serampangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi boleh saja, tapi harus ketat. Harus dicek betul karena ini terkait dengan hak cipta juga," tegas Jamal dalam salah satu sesi program Journalism Fellowship on CSR 2025 yang diselenggarakan oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) dengan didukung oleh Tower Bersama Group, Rabu (16/4/2025).

Jurnalis asal Betawi yang telah berkiprah di dunia pertelevisian sejak 1995 itu menyebut AI memang sangat membantu. Kendati begitu, jika wartawan tak cermat, maka akan terperosok juga. Selain itu, ia menyebut tak ada persentase khusus kadar penggunaan AI dalam konten jurnalistik.

ADVERTISEMENT

"Jadi boleh, boleh saja. Berapa prosentasenya memang nggak ada sih. Nggak ada ukuran prosentase, tapi tetap harus ketat," jelasnya.

"Jangan karena sekadar ada, terus diambil aja. Ternyata itu berita orang lain," ucap mantan Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Dewan Pers 2019-2022 itu.

Pada kesempatan yang berbeda, peneliti media Abie Besman menilai AI dalam jurnalisme idealnya diposisikan sebagai co-actor, bukan sebagai penulis utama. Abie menegaskan AI boleh digunakan sejauh masih ada campur tangan manusia dalam proses editorial, proses yang melibatkan etika, konteks, dan pertanggungjawaban.

"Berdasarkan pendekatan Actor-Network Theory (ANT), AI bukan sekadar alat, tapi aktor non-manusia yang ikut membentuk ekosistem kerja jurnalistik, dari produksi, kurasi, hingga distribusi konten," jelas Abie kepada detikEdu, Rabu (16/4/2025).

Ia menekankan, maka batas penggunaan AI bukan terletak pada boleh atau tidak, tetapi pada fungsi dan transparansi.

Rambu-rambu Penggunaan AI untuk Media

Fulbright Scholar dari Texas Tech University ini menjelaskan tiga rambu-rambu pemanfaatan AI dalam media, yaitu:

1. Transparansi Redaksional

"Publik harus tahu jika AI digunakan, terutama pada konten yang bersifat visual, suara, atau bahkan naskah berita. Kejujuran dalam proses produksi jurnalisme akan tetap menjaga kepercayaan publik," terangnya.

2. Proses yang Bertanggung Jawab

Abie menekankan agar jurnalis tidak menyerahkan seluruh proses editorial ke AI.

"Dalam ANT, ini disebut sebagai delegation di mana proses saat fungsi jurnalis mulai didelegasikan ke mesin. Harus ada mekanisme kontrol dan review oleh manusia agar framing berita tetap mencerminkan nilai-nilai etis jurnalistik," jelasnya.

3. Adanya Audit dan Akuntabilitas Algoritma

Abie menyebut AI dalam newsroom semestinya dapat diaudit. Masalah utama dalam black-boxing (ANT) adalah saat AI membuat keputusan tanpa dapat ditelusuri logikanya, bahkan oleh redaksi sendiri.

"Ini berbahaya karena bisa menimbulkan bias, ketidakadilan representasi, hingga penyebaran disinformasi karena sumber yang tidak bisa ditelusuri," Abie mewanti-wanti.

'Belantara' Media

Pada program Fellowship on CSR 2025 ini, Jamal juga sempat menyebut yang ia istilahkan sebagai era 'belantara jurnalis dan media di Indonesia'.

"Kawan-kawan yang hari ini menggeluti pekerjaan jurnalistik sebagai jurnalis, sebagai wartawan, kita saat ini berada dalam belantara yang sangat dahsyat, sangat besar," sebut Jamal.

"Kenapa begitu? Selain memang perkembangan setelah era Reformasi '98 itu kan regulasinya sudah berubah. Sudah nggak perlu lagi ada SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), sehingga hari ini semua orang punya kesempatan untuk bikin media dan mengaku jurnalis. Mengaku ya. Kenapa? Karena memang mudah," imbuhnya.

Namun, Jamal juga menekankan Dewan Pers dan Pemerintah tak dapat membekukan, kecuali ada pelanggaran-pelanggaran yang secara teknis.

"Memang regulasinya memungkinkan semua orang untuk bisa punya media. Karena nggak perlu SIUPP lagi, Surat Izin Penerbitan," jelas laki-laki yang mengawali karier sebagai reporter RCTI itu.

Sementara itu, Abie menilai secara ideal jumlah media dan jurnalis yang banyak mencerminkan keberagaman suara.

"Tapi dalam praktik, kuantitas bukan jaminan kualitas. Dalam konteks AI dan media digital, kita bisa memiliki ratusan kanal berita yang justru homogen karena semua diarahkan oleh algoritma yang sama," jelasnya.

Ia menerangkan, yang lebih penting adalah keberagaman sistemik. Maksudnya adalah kepemilikan yang tidak terkonsentrasi, redaksi yang independen, dan media yang tidak semuanya tunduk pada logika algoritma.

"Banyaknya media itu ideal, selama tidak semua dikendalikan oleh kekuatan pasar atau kekuasaan politik yang seragam," ujarnya.

Dengan banyaknya media saat ini, menurut Abie yang banyak hilang hari ini adalah kemampuan memilah dan memilih, baik dari sisi redaksi maupun konsumen informasi.

Abie memaparkan, algoritma membuat informasi yang sampai sekadar apa yang viral. Jurnalisme yang terlalu bergantung pada algoritma berisiko terjebak pada "engagement-driven journalism", di mana berita dipilih bukan karena nilainya, tetapi karena potensinya untuk diklik.

"Perbaikannya adalah menempatkan kembali manusia sebagai pusat keputusan. Teknologi memang penting, tapi ia harus tunduk pada logika jurnalisme, bukan sebaliknya," ucapnya.




(nah/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads