"Itu lo, masak sekolah tinggi-tinggi, lulusan luar negeri eh pulang-pulang cuma jadi petani." Bisik-bisik tetangga itu akhirnya menyelinap ke telinga Adi Latif Mashudi ketika pada pertengahan 2023 mulai menanami lahannya dengan seribuan bibit melon.
Namun lelaki kelahiran Blora, 25 April 1997 itu tak mau menggubrisnya. Sebab keputusannya itu juga sudah melalui proses dan tirakat panjang hingga memanjatkan doa-doa saat berhaji beberapa bulan sebelumnya. Adi meyakini petani bukanlah profesi yang hina. Dia juga ingin membuktikan apa yang dilakukannya sebagai petani akan memberi banyak manfaat bagi desa dan kampung halaman tempat mereka tinggal.
"Saat berhaji itu sebetulnya saya membawa tujuh daftar profesi yang akan saya tekuni, seperti membuka sekolah bahasa Korea, menjadi peternak ayam, kambing atau sapi, hingga petani hidroponik. Ternyata setelah memanjatkan doa-doa hati saya mantap untuk bertani," tutur Adi saat berbincang dengan detikedu, Selasa (23/4/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia memutuskan menjadi petani melon secara hidroponik karena buah ini perawatannya tidak terlalu rumit dan masa panen setiap dua bulan sudah bisa dipanen. Ada tiga jenis melon yang dikembangkannya, yakni New Kinanti yang bentuknya bulat, kulit mulus keemasan, daging orange. Kedua, Sweet Lavender yang lonjong, kulit berjaring, warna kulit kuning, daging orange. Terakhir jenis Rangipo-RZ Lavender yang bulat dengan kulit hijau dan berjaring, daging warna orange, serta bijinya lebih sedikit.
"Saya menjualnya langsung di kebun sebagai bagian dari agro wisata. Harganya rata-rata Rp 30 ribu per kilogram," kata Adi.
Setelah melon, di lahan seluas 2000 meter persegi juga mulai dikembangkan tanaman buah durian, alpukat, strawberi. Sebagian lahan dia gunakan untuk kolam ikan lele dan nila. Untuk membangun Agro Wisata Girli Farm, Adi mengaku merogoh modal sekitar Rp 700 juta.
![]() |
"Semua dari tabungan pribadi selama kerja di Korea, tanpa pinjaman bank," tegasnya.
Selain membangun ekosistem pertanian untuk meningkatkan perekonomian desa, Adi juga tengah berancang-ancang dengan beberapa teman sesama mantan pekerja migran Indonesia di Korea untuk membuka lembaga pendidikan Bahasa Korea. Dia berharap kelak akan banyak pemuda-pemudi asal Blora yang bekerja di Korea. Sebab dari pengalamannya lima tahun bekerja di sana, gaji dan fasilitasnya tergolong sangat baik. Sejak akhir 2017, Adi Latif Mashudi bekerja di divisi pembuat mesin cuci merek LG Electronics di Changwon, Gyeongsangnam-do.
"Saya mendapat lebih dari Rp 20 juta perbulan. Intinya kita itu gaji dan fasilitas tak dibedakan dengan warga Korea," ujar suami dari Devi Agustina itu.
Setelah enam bulan bekerja di LG, dia mengisi hari-hari libur akhir pekannya dengan kuliah jurusan Manajemen Bisnis di Universitas Terbuka yang bekerja sama dengan salah satu universitas di sana sejak tahun 2018 hingga 2022.
Berkat prestasinya, dia bersama empat rekan lainnya meraih beasiswa dari BNI. "Besarnya 500 ribu Won atau sekitar Rp 6 juta. Saya dapat pada 2019 dan 2021," kata Adi yang kemudian diwisuda pada akhir 2022 dengan IPK 3,65.
Bagaimana Bisa ke Korea Selatan?
Latar belakang Adi adalah Teknik Otomotif di sebuah SMK di Blora. Saat duduk di SMK itu, ada lembaga yang memberikan kursus Bahasa Korea selama tiga pekan secara gratis. Adi tentu tak menyiakan kesempatan dengan mengikuti kursus bahasa Korea Selatan itu.
Setamat SMK pada 2015, dia melanjutkan kursus di sebuah lembaga di Pati. Karena dinilai berprestasi, saat ada program pengiriman tenaga kerja ke Korea dia termasuk yang disertakan secara gratis.
"Selama belajar itu saya juga dipercaya untuk mengurus asrama dan koperasi lembaga tersebut. Eh, pas ada program ke Korea saya disertakan, gratis. Padahal biasanya biaya untuk ke Korea bisa lebih dari Rp 30 juta," tutur Adi.
(nwk/nwk)