Survei terbaru yang dilakukan Pew Research Center menunjukkan Indonesia menempati posisi tertinggi sebagai negara paling religius dan paling taat beribadah, dengan persentase 98%. Survei yang dipublikasikan pada 9 Agustus 2024 itu melibatkan 102 negara selama kurun waktu 2008-2023. Peneliti Senior Pew Research Center, Jonathan Evans mengatakan pertanyaan dalam survei seputar tingkat pentingnya agama dan intensitas beribadah. Sebanyak 96% responden Indonesia menganggap seseorang mesti beriman kepada Tuhan untuk dapat bermoral, dan 98% menganggap agama penting di hidup mereka.
Tingkat religiositas Indonesia mengalahkan negara-negara Islam di Timur Tengah. Di Tunisia, negara yang keseluruhan populasinya beragama Islam, 84% respondennya menganggap keimanan berjalan beriringan dengan moral. Begitu pula dengan Turki yang nilainya 75% dan Lebanon 72%. Negara Filipina, Nigeria, Kenya, dan Tunisia memperoleh kisaran 91-93%, respondennya menganggap agama punya peran sangat penting di hidup mereka. Berbeda dengan Israel, misalnya, yang walaupun menganggap Tuhan berperan penting dalam hidup mereka (71%), tetapi cenderung menganggap ibadah lebih tidak penting (54%).
Empat tahun sebelumnya, Pew Research Center menemukan bahwa tingkat kereligiusan seseorang dipengaruhi oleh ekonomi, tingkat pendidikan, dan usia. Survei ini dilakukan terdapat 38.426 orang yang diwawancara di 34 negara. Hasilnya, rata-rata 45% penduduk dunia percaya seseorang wajib beriman kepada Tuhan untuk menjadi bermoral. Rata-rata 62% orang juga merasa Tuhan, agama, dan ibadah berperan penting di hidup mereka. Hasil ini punya porsi yang berbeda-beda untuk setiap negara. Negara-negara Eropa, contohnya, cenderung punya tingkat kereligiusan yang lebih rendah dibandingkan dengan negara Asia, Afrika, dan Timur Tengah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia juga menempati posisi puncak dalam pertanyaan terkait intensitas beribadah, dengan persentase 95 persen. Di Asia Timur, tidak lebih dari 21% orang dewasa mengatakan mereka berdoa setiap harinya, termasuk 13% orang di Hong Kong dan 19 %di Jepang. Amerika Serikat berada di tengah-tengah dari 102 negara dan wilayah yang dianalisis. Sekitar 45% orang dewasa AS mengatakan mereka berdoa setiap hari. Kompleksitas pengukuran religiositas secara global menanyakan orang-orang tentang pentingnya agama dalam kehidupan dan seberapa sering mereka berdoa memberi gambaran tentang tingkat religiositas masing-masing individu.
Orang dengan religiositas yang tinggi tentu diyakini mampu menjalani kehidupan dengan tenang. Ia akan mampu berkarya, mengatasi tekanan hidup, mampu merasa bahagia dan memberi kontribusi untuk sesama. Agama diharapkan mampu memberikan dukungan sosial bagi setiap penganutnya. Seseorang yang beragama dan sering mengunjungi tempat ibadah kemungkinan besar memiliki kelompok dukungan sosial, untuk mendukung kesehatan mental dan tubuh sehingga memperpanjang usia harapan hidupnya.
Penelitian menunjukkan korelasi antara depresi dan tingkat religius tidak saling berkaitan, justru banyak orang yang depresi atau merasa tekanan karena salah dalam konsep beriman kepada Tuhan. Sebuah penelitian di Universitas Columbia juga menemukan bahwa frekuensi ibadah keagamaan tidak berpengaruh terhadap depresi. Faktanya, banyak umat beragama yang merasa dirinya berdosa, memendam perasaan bersalah, jarang beribadah kepada Tuhan, dan sering melupakan Tuhan, sehingga mendapat hukuman dari Tuhan. Seseorang dengan depresi sering kali merefleksikan bahwa ada yang salah di hidupnya dan menjadi pengingat bahwa ia tidak memerankan potensi terbaiknya-bahwa ia terjebak dalam lingkungan dan pola pikir yang salah. Oleh karena itu, orang yang rajin beribadah pun bisa mengalami depresi jika salah memaknai iman dalam dirinya.
Secara nasional, prevalensi depresi di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 1,4%. Prevalensi depresi paling tinggi ada pada kelompok anak muda (15-24 tahun), yaitu sebesar 2%. Depresi merupakan penyebab utama disabilitas pada remaja. Depresi ditandai dengan penurunan emosi menjadi murung dan sedih, kehilangan minat, termasuk minat untuk berinteraksi, berkurangnya kepercayaan diri dan energi, adanya gangguan makan dan tidur serta sering kali ada perasaan bersalah. Depresi dapat menjadi penyebab bunuh diri, baik karena dorongan di pikirannya maupun adanya halusinasi. Tindakan mengakhiri hidup ini merupakan penyebab ke-4 kematian pada remaja di dunia. Kebanyakan dari gangguan psikologis tersebut tidak disadari dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat.
Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri) menunjukkan seluruh kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang tahunnya. Angka kasus bunuh diri terus meningkat setiap tahun, bahkan bertambah hingga 60% dalam lima tahun terakhir. Secara teori, berbagai faktor menjadi latar belakang seseorang melakukan bunuh diri, seperti faktor biologis, genetik, psikologis, budaya, dan lingkungan. Dengan adanya tindakan kecil seperti kebaikan sederhana, mendengarkan keluh kesah seseorang tanpa menyalahkan dan menghakimi dapat mencegah aksi bunuh diri.
Penyebab depresi sendiri bukanlah faktor tunggal. Keterkaitan faktor genetik, biologi, pengasuhan, dan lingkungan berkontribusi terhadap kejadian gangguan jiwa, termasuk depresi. Menerapkan gaya hidup sehat dapat membantu mencegah terjadinya depresi, atau mencegah perburukan gejala pada orang yang telah didiagnosis menderita depresi. Pencegahan depresi juga dapat dilakukan dengan menata hidup, menyeimbangkan aktivitas dan istirahat, mencukupi kebutuhan tidur, olahraga serta menjauhi konsumsi alkohol. Berkumpul dengan teman, penghindaran terhadap potensi konflik dan membatasi penggunaan media sosial juga dinilai baik untuk mencegah depresi.
Stigma seputar masalah kesehatan mental dan agama dapat mempengaruhi cara orang mencari dukungan. Penting untuk dipahami bahwa depresi adalah masalah kesehatan mental kompleks yang memerlukan pendekatan pengobatan holistik. Agama mungkin menjadi sumber dukungan bagi sebagian orang, namun banyak yang memerlukan perawatan profesional dan dukungan medis. Saat menangani depresi dan keterlibatan keagamaan, penting untuk mempertimbangkan keragaman pengalaman individu dan menerapkan pendekatan yang sensitif secara budaya dan spiritual. Baik dukungan sosial dari komunitas keagamaan maupun menjalani terapi dapat membantu orang mengatasi gejala depresi.
Sebaliknya, apabila seseorang memaknai ketaatan beragama secara spiritual, akan membawa kebahagiaan dan kedamaian. Perlu diresapi bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih dan Penyayang, entitas penuh cinta dan hangat, sehingga hubungan dengan Tuhan harus didasari oleh rasa cinta, kebahagiaan, dan kebebasan, bukan oleh rasa takut atau kewajiban yang kaku. Ini menciptakan ruang bagi setiap individu untuk menemukan cara uniknya sendiri. Aktivitas ritual agama yang dijalankan dengan menyenangkan dan tidak kaku akan membuat kenikmatan sendiri, pikiran positif, rasa tenang dan meminimalisir risiko depresi.
Bulan Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang memperbaiki diri secara holistik, termasuk kesehatan mental. Dengan memanfaatkan bulan ini untuk refleksi, pengendalian diri, dan memperkuat koneksi spiritual, insyaallah terwujud kedamaian batin dan keseimbangan emosional. Bulan Ramadan dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk merawat kesehatan mental, menjadi pribadi yang lebih baik nantinya.
Citra Fitri Agustina
Pengurus Lembaga Kesehatan PBNU/ Staf pengajar Universitas YARSI
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)
(kri/kri)
Komentar Terbanyak
Kisah Wafatnya Nabi Sulaiman AS: Bukti Jin Tidak Mengetahui Hal Ghaib
Makanan Mengandung Babi Bersertifikat Halal Ditarik dari Peredaran
Makanan Mengandung Babi 'Berlabel Halal', BPJPH: Kami Selidiki dan Beri Sanksi