Saat Rasulullah Enggan Menyalati Jenazah yang Punya Utang

Saat Rasulullah Enggan Menyalati Jenazah yang Punya Utang

Kristina - detikHikmah
Selasa, 08 Apr 2025 05:45 WIB
Ilustrasi likuiditas perusahaan.
Ilustrasi utang. Foto: Josh Appel/Unsplash
Jakarta -

Utang adalah perkara yang wajib dilunasi bahkan saat orang itu telah meninggal dunia. Rasulullah SAW pernah menolak menyalati jenazah karena masih meninggalkan utang.

Kisah ini diceritakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Ahmad. Diceritakan, pada suatu ketika, Rasulullah SAW diminta menyalati jenazah seseorang. Sebelum mengiyakan, beliau SAW menanyakan perihal utang.

"Apakah orang ini meninggalkan sesuatu?" tanya Rasulullah SAW.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Orang-orang yang membawa jenazah itu menjawab, "Tidak."

Rasulullah SAW bertanya lagi, "Apakah ia mempunyai utang?"

ADVERTISEMENT

Mereka menjawab, "Tiga dinar."

Nabi SAW kemudian bersabda, "Kalau begitu silakan kalian saja yang menyalatinya."

Seseorang dari kaum Anshar bernama Abu Qatadah berkata, "Ya Rasulullah salatkanlah jenazah ini dan akulah yang akan memikul dan bertanggung jawab atas utangnya."

Setelah ada orang yang menanggung utang jenazah itu baru Rasulullah SAW mau menyalatinya.

Terkait hadits tersebut, penulis buku Panduan Salat Lengkap & Praktis Sesuai Petunjuk Rasulullah SAW, Abdul Kadir Nuhuyanan menjelaskan orang yang berutang dan meninggal dunia boleh disalati jenazahnya tetapi harus diselesaikan dulu utangnya. Apabila yang bersangkutan tidak mewariskan sesuatu untuk membayarnya, sebaiknya utang itu ditangguhkan kepada keluarga yang ada.

Kewajiban melunasi utang diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah RA. Ia mengatakan pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda saat haji wada yang salah satunya berisi, "Pinjaman harus dikembalikan, penanggung utang adalah yang berutang, dan utang itu harus dilunasi."

Musthafa Dib Al-Bugha dalam Al-Tadzhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib menjelaskan, pihak yang menanggung utang harus membayar utang pihak yang ditanggungnya. Ia menjadi orang yang berutang dan dituntut melunasi utangnya.

Tuntutan pelunasan utang yang kepada pihak yang dijamin utangnya didasarkan pada hukum asal bahwa tanggung jawab pelunasan utang berada di pihak pengutang sendiri bukan yang menjamin utangnya.

Perihal utang dijelaskan dalam Al-Qur'an surah Al Baqarah ayat 282. Allah SWT berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ٢٨٢

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajar-kan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(-nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(-nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."




(kri/lus)

Hide Ads