Tiga camat di Kota Semarang menjadi saksi dalam persidangan kasus korupsi mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu dan suaminya, Alwin Basri. Mereka mengungkap bahwa Alwin sempat meminta proyek-proyek penunjukan langsung (PL) dengan nilai total Rp 16 miliar.
Tiga saksi yang dihadirkan ialah mantan Camat Pedurungan Eko Yuniarto, Camat Genuk Suroto, dan Camat Semarang Selatan Ronny Cahyo. Eko dan Suroto.
Kala itu, dirinya dan Suroto diminta menemui Alwin yang juga merupakan Ketua Komisi D DPRD Jateng. Alwin kemudian meminta proyek penunjukan langsung dengan total nilai Rp 16 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Intinya beliau meminta angka yang diminta beliau adalah Rp 16 miliar," kata Eko di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (28/4/2025).
Proyek senilai Rp 16 miliar itu pun langsung dibagi menjadi 193 proyek di 16 kecamatan dan 177 kelurahan. Nilai per pekerjaan diketahui sebesar Rp 82,9 juta.
Saat itu, Alwin juga telah menyebut-nyebut nama Ketua Gapensi Semarang Martono. Martono disebut Alwin sebagai sosok yang akan mengurus proyek tersebut.
"(Kata Alwin) 'Nanti yang mengurusi proyek PL (pengadaan langsung) saya Pak Martono, Rp 16 miliar yang mengelola Martono," kata Eko menirukan Alwin.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK pun bertanya mengapa Eko menyetujui permintaan Alwin. Terlebih, Alwin bukan atasannya secara langsung, hanya suami Mbak Ita yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi D DPRD Jateng.
"Karena saya menganggap penyampaian Pak Alwin adalah representasi Bu Ita. Ada perkataan yang menekan 'kalau ada yang tidak setuju bisa lapor ke saya'," jawab Eko.
"Yang kami pahami itu tekanan kepada kami. Karena itu perintah, kami harus melaksanakan," jelasnya.
Camat Genuk, Suroto juga sempat mengatakan hal yang sama. Ia justru menduga, permintaan proyek yang disampaikan Alwin itu sudah diketahui mantan Wali Kota Semarang, Mbak Ita. Dia tak menolak karena takut dicopot.
"Tidak dilaporkan ke Bu Ita, kami berasumsi (Ita) sudah tahu. Karena waktu itu posisi kami tidak punya kesempatan membantah dengan Pak Alwin," ujarnya.
"Waktu itu ada perasaan takut dicopot. Dia bilang 'yang tidak sanggup laporkan ke saya'. Ya saya mikir karena kami harus loyal," ujarnya.
Sementara Camat Semarang Selatan, Ronny Cahyo Nugroho mengatakan, ia juga sepakat untuk memberikan proyek Rp 16 miliar tersebut. Bahkan, Alwin masih meminta iuran tambahan dari dirinya untuk mendanai lomba nasi goreng dan lomba voli.
"(Tahun 2023 menyediakan tambahan hadiah lomba masak nasi goreng Mba Ita tingkat kecamatan Semarang Selatan sekitar Rp 5 juta, betul?) Betul. (Kemudian lomba voli antar kelurahan, Rp 10 juta?) Betul," jelasnya.
Kemudian sekitar bulan Juni, Ronny juga diminta membuat dan memasang sekitar 200 spanduk senilai Rp10 juta yang bersumber dari iuran dirinya dan kepala dinas DPMPTSP.
Spanduk tersebut berisi gambar Bu Ita dengan tulisan, seperti 'Bersama Mbak Ita Kawal Pembangunan Kota Semarang', 'Mbak Ita Nyata dan Teruji', 'Mbak Ita Pemimpin Perempuan Pembela Rakyat'.
Ronny mengaku menyanggupi perintah Alwin karena menganggap itu sebagai perintah Mbak Ita.
"Karena kalau (perintah) yang diberikan oleh Bapak Alwin selaku suami Bu ita tentunya, kami anggap sebagai representasi dari wali kota," ujarnya.
Alwin yang juga hadir dalam persidangan pun berkesempatan menanggapi perkataan para saksi. Ia membantah pernah menekan para saksi.
"Saya satu tidak pernah menekan," kata Alwin di persidangan.
Sebelumnya diberitakan, Mbak Ita dan Alwin didakwa menerima gratifikasi dengan total Rp 2,24 miliar, yang juga diterima Martono. Uang itu merupakan pekerjaan proyek di 16 kecamatan di Kota Semarang yang dilakukan melalui penunjukan langsung.
"Jumlah keseluruhan Rp 2,24 miliar dengan rincian Terdakwa I dan Terdakwa II menerima Rp 2 miliar dan Martono menerima Rp 245 juta," kata JPU dari KPK, Rio Vernika Putra di Pengadilan Tipikor Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Senin (21/4/2025).
"(Uang Rp 2,24 miliar) dari Suwarno, Gatot Sunarto, Ade Bhakti, Hening Kirono, Siswoyo, Sapta Marnugroho, Eny Setyawati, Zulfigar, Ari Hidayat, dan Damsrin," imbuh dia.
Selain itu, Mbak Ita dan Alwin pun didakwa menerima suap dari proyek pengadaan barang dan jasa senilai Rp 3,75 serta didakwa memotong pembayaran kepada pegawai negeri senilai Rp 3 miliar.
Total, Mbak Ita dan Alwin menerima uang suap dan gratifikasi dengan total kurang lebih Rp 9 miliar. Atas perbuatannya, kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11, dan Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
(afn/aku)