Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA menjelaskan bahwa istilah "halal bi halal" merupakan ungkapan dalam bahasa Arab yang sebenarnya tidak dikenal oleh orang Arab, karena memiliki struktur kalimat yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
Menurut Prof Nasaruddin Umar, kata "halal" yang pertama bermakna saling menghalalkan atau saling memaafkan. Hal ini erat kaitannya dengan sejarah Indonesia, yang diproklamirkan kemerdekaannya pada hari Jumat, 9 Ramadan 1367 H atau 17 Agustus 1945.
Setelah perjuangan panjang mencapai kemerdekaan, masyarakat diajak untuk saling memaafkan atas kesalahan yang terjadi sebelum kemerdekaan. Inilah yang menjadi cikal bakal makna pertama dari halal bi halal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, setelah Indonesia merdeka, masyarakat didorong untuk tidak mencari siapa yang bersalah atau berkhianat selama perjuangan. Sebaliknya, mereka diajak untuk berangkulan dan saling memaafkan, yang menjadi makna kedua dari istilah "halal bi halal."
Hingga saat ini, tradisi halal bi halal tidak hanya dilakukan di dalam negeri, tetapi juga menjadi budaya yang diperkenalkan ke luar negeri. Para duta besar Indonesia sering mengadakan acara halal bi halal dan mengundang warga negara setempat, yang kemudian penasaran dengan makna dari istilah ini.
"Halal bi halal adalah silaturahim setelah Lebaran," jelas Prof Nasaruddin Umar dalam detikKultum, Minggu (30/3/2025).
Jika biasanya silaturahmi dilakukan dengan berkunjung dari rumah ke rumah, halal bi halal menjadi alternatif yang lebih efektif karena memungkinkan banyak orang berkumpul dalam satu waktu dan tempat.
Menurut Prof Nasaruddin Umar, inti dari halal bi halal adalah mempererat silaturahmi. Setelah sebulan penuh beribadah di bulan Ramadan dan diampuni dosa-dosa oleh Allah SWT, kita juga harus saling memaafkan satu sama lain. Dengan demikian, amal ibadah selama Ramadan menjadi lebih sempurna, dan keberkahan Ramadan dapat terus dirasakan.
"Bulan suci Ramadan akan kita rasakan manfaatnya setelah Ramadan itu sendiri," ungkap Menteri Agama RI ini.
Oleh karena itu, tidak ada artinya berpuasa jika hubungan dengan orang lain tetap buruk, baik itu dengan tetangga, pasangan, anak, maupun teman.
Melalui halal bi halal, kita tidak hanya berkesempatan untuk saling mengampuni dosa, tetapi juga harus berani meminta maaf kepada siapa saja yang pernah kita sakiti. Bahkan, doa untuk mereka yang telah wafat juga merupakan bagian dari halal bi halal, karena dengan mendoakan mereka, kita tetap menjaga hubungan baik meski telah berbeda alam.
Prof Nasaruddin Umar berharap semoga Ramadan yang telah kita lalui memberikan manfaat yang berkelanjutan.
"Tidak terasa satu bulan kita bersama. Saya juga mohon maaf jika ada pernyataan yang kurang sejalan dengan Bapak Ibu sekalian. Semoga kita dapat bertemu kembali di Ramadan tahun berikutnya," tutup Prof Nasaruddin Umar.
Saksikan detikKultum bersama Prof Nasaruddin Umar selengkapnya hanya di detikcom!
Baca juga: Jauhi Ujaran Kebencian |
Komentar Terbanyak
Kisah Wafatnya Nabi Sulaiman AS: Bukti Jin Tidak Mengetahui Hal Ghaib
Makanan Mengandung Babi Bersertifikat Halal Ditarik dari Peredaran
Makanan Mengandung Babi 'Berlabel Halal', BPJPH: Kami Selidiki dan Beri Sanksi