Permohonan pembatalan perdamaian (homologasi) yang diajukan oleh salah satu pemegang saham PT Bali Ragawisata (PT BRW) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menarik perhatian kalangan hukum. Pakar hukum mengingatkan pentingnya kehati-hatian majelis hakim dalam menangani perkara ini, mengingat kompleksitas relasi hukum antara pemegang saham, kreditor, dan perusahaan.
Majelis hakim yang menangani perkara hukum PT Bali Ragawisata (PT BRW) diminta untuk bersikap jeli terkait pengajuan pembatalan perdamaian (homologasi) pada Pengadilan Niaga yang dapat berujung pailit oleh pemegang saham kepada perusahaannya sendiri.
Hal ini disampaikan praktisi hukum kepailitan sekaligus pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) atau Universitas Dharma Indonesia, Chairul Aman. Ia mengatakan seorang kreditor yang juga merupakan pemegang saham dan mengajukan permohonan pembatalan perdamaian atau homologasi itu bisa saja diperkenankan sepanjang memenuhi syarat pembatalan perdamaian sesuai Undang-Undang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi tujuan permohonan tersebut perlu untuk dipertanyakan mengingat status pemegang saham yang merupakan pemilik dari perusahaan dan terdapat kreditor-kreditor lain yang mungkin akan dirugikan karena akan membebani harta pailit dalam keadaan pailitnya suatu Perusahaan," kata Chairul dalam keterangannya, Senin (28/4/2025).
"Dalam perkara kepailitan tertentu Jika ditemui indikasi adanya dugaan atau patut diduga terdapat settingan atau patut diduga karena pemohon adalah pemegang saham yang ingin menyelamatkan hartanya yang ada pada perusahaan atau untuk meminimalisir kerugian dalam posisi yang ditagihkan kepada harta pailit nantinya adalah merupakan hartanya yang telah masuk kepada Perusahaan sebagai modal atau saham. Maka di sini tugas dari majelis hakim untuk bijaksana dan jeli dalam memeriksa perkara tersebut sekalipun ada mekanisme dan aturan hukum untuk itu," imbuhnya.
Chairul melanjutkan bahwa seorang pemegang saham sepatutnya menjaga perusahaan agar jangan sampai berada dalam kondisi pailit. Alasannya akibat dari kepailitan adalah perusahaan kehilangan haknya untuk mengurus harta kekayaannya dan seluruh harta perusahaan harus dijual di muka umum untuk membayar utang-utangnya kepada seluruh kreditor, apabila perusahaan berada dalam kondisi insolvensi bisa berakhir pada dilikuidasinya perusahaan setelah berakhirnya kepailitan.
Selanjutnya, Chairul mengatakan dengan diajukannya permohonan pembatalan perdamaian yang akan berujung pada pailitnya perusahaan, maka patut dipertanyakan apa motif dari pemegang saham tersebut. Ia menilai harusnya jangan sampai hal tersebut dilakukan karena dapat berpotensi merugikan kreditor-kreditor lain.
Menurut Chairul, seharusnya permasalahan utang-piutang dengan perusahaan juga bisa diselesaikan dengan mekanisme lain yang tidak menimbulkan dampak signifikan bagi kelangsungan usaha perusahaan serta nantinya tidak merugikan semua pihak. Untuk itu ia menyarankan agar hal tersebut perlu untuk dicermati oleh majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut.
"Sekali lagi inilah tugas dari majelis hakim dalam memutuskan perkara tersebut," tegasnya.
Secara terpisah, kuasa hukum PT BRW, Ghazi Luthfi menjelaskan masalah hukum ini terjadi setelah PT BRW berusaha melakukan restrukturisasi utang perusahaan. Ia mengatakan PT BRW telah berupaya melakukan kewajiban pembayarannya kepada para kreditor dengan cara melakukan penjualan asetnya berupa tanah dan bangunan di Bali. Sejak 2021 sampai dengan 2023, PT BRW telah berhasil menjalankan kewajibannya kepada para kreditor.
Namun pada tahun 2024, upaya PT BRW untuk memenuhi kewajibannya terkendala karena penjualan aset tersebut mendapat berbagai halangan dari Saiman Ernawan, salah satu pemegang saham PT BRW yang mengaku memiliki tagihan kepada PT BRW sebesar kurang lebih Rp. 1,3 Triliun serta pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT BRW sampai dengan tahun 2021 sebelum akhirnya digantikan oleh Triono Juliarso Dawis.
Halangan tersebut terjadi dengan dibuatnya aduan masyarakat kepada polisi dan juga gugatan perdata di Pengadilan Negeri Denpasar yang dilakukan oleh Saiman Ernawan yang mengakibatkan tanah PT BRW berada dalam status blokir atau dibekukan dan pemberitaan yang buruk di media massa sehingga akan sulit untuk dijual untuk melaksanakan putusan homologasi. Ironisnya hal tersebut dilakukan setelah PT BRW berhasil melunasi utang kepada bank dan Saiman Ernawan menikmati benefit dengan terbebasnya Personal Guarantee yang sebelumnya dijanjikan kepada para Bank kreditor sindikasi.
"Putusan Homologasi sebelumnya telah mengatur bahwa PT BRW harus melunasi utang-utangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dengan pembayaran yang dilakukan setiap tahunnya pada tanggal 31 Desember. Walaupun akhirnya aduan masyarakat yang dilakukan oleh Saiman Ernawan kepada Polda Bali tidak terbukti dan telah dihentikan tapi dikarenakan berbagai halangan tersebut, sulit bagi PT BRW untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan putusan homologasi karena tidak dimungkinkannya penjualan aset, terlebih para pemegang saham juga tidak melakukan injeksi modal kepada PT BRW sehingga PT BRW tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kewajibannya." jelas Ghazi.
Dari semua penjelasan tersebut, Chairul kembali mengatakan dalam perkara perdata atau kepailitan semacam ini memang kendala tersebut merupakan hal yang sangat pelik dan sensitif. Dalam banyak kasus, kata dia, terkadang sering kali ada kreditor sekaligus pemegang saham yang kemudian menjadi pemohon dari perkara kepailitan atau pembatalan homologasi karena mempunyai tagihan atau piutang terhadap perusahaan atau debitor.
"Sekali lagi semua ini baru akan terlihat diujungnya, hakim perlu untuk melihat secara jeli apa maksud dari pemegang saham mengajukan permohonan pembatalan perdamaian ini, apakah murni karena menginginkan tagihannya dibayar, atau by design agar didahulukan dari kreditor lain atau karena tujuan-tujuan lain pemegang saham tersebut menginginkan perusahaan berada dalam kondisi pailit yang mana hal tersebut tidak sesuai dengan semangat dari undang-undang kepailitan," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, saat ini PT BRW sedang menjalani persidangan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Perusahaan ini menuai enam Permohonan Pembatalan Perdamaian (Homologasi), salah satunya diajukan oleh pemegang saham dari PT BRW, Lily Bintoro. Berdasarkan data profil perusahaan PT Bali Ragawisata yang didapatkan melalui website resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum Republik Indonesia, nama Lily Bintoro tercatat sebagai pemegang saham, bersama-sama dengan Djie Tjian An, Didi Dawis, dan Saiman Ernawan.
Permohonan Pembatalan Perdamaian ini muncul di saat pihak PT BRW terikat dan memiliki kewajiban untuk menjalankan isi kesepakatan perdamaian (homologasi) guna melunasi utangnya sebesar kurang lebih Rp 3,5 Triliun berdasarkan Putusan Homologasi yang diterbitkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Februari 2021. Dalam putusan tersebut, perusahaan yang didirikan pada tahun 1990 tersebut diperintahkan untuk melunasi utang kepada para kreditor separatis (utang bank) dan kreditor lainnya.
Sementara itu, 6 (enam) persidangan atas gugatan pembatalan Perdamaian (Homologasi) kepada PT BRW telah berjalan. Adapun para pemohon yang tercatat adalah Lily Bintoro, yang juga merupakan salah satu pemegang saham PT BRW dan PT Bhumi Cahaya Mulia (Perkara No. 18), CV Dwi Putu Kassirano (Perkara No. 19), Simon Chang (Perkara No. 20), PT Pilar Garba Inti (Perkara No. 21), Ryo Okawa (Perkara No. 22) serta PT Tatamulia Nusantara Indah, PT Karya Intertek Kencana, dan PT Karya Makmur Integra (Perkara No. 23).
(akn/ega)