Penyakit jantung adalah salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia, baik pada laki-laki maupun perempuan. Namun, sebuah penelitian menemukan kaitan yang lebih tinggi antara penyakit jantung dengan perempuan yang memiliki kondisi genetik tertentu.
Selama ini, sebagian besar penelitian tentang penyakit jantung lebih banyak dilakukan pada laki-laki, yang menyebabkan adanya "bias gender" dalam proses diagnosis dan pengobatannya. Hal ini yang membuat ilmuwan memperluas dengan mencoba meneliti terhadap perempuan.
Hasilnya, ditemukan bahwa perempuan lebih beresiko terkena penyakit jantung. Hal ini, terutama perempuan yang memiliki genetik depresi lebih tinggi, dibandingkan dengan laki-laki. Bagaimana bisa?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hubungan Otak dan Jantung
Studi berjudul "Sex-Specific Association Between Genetic Risk of Psychiatric Disorders and Cardiovascular Diseases" yang terbit di Genomic and Precision Medicine pada November 2024 oleh Jiayue-Clara Jiang dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa depresi memengaruhi kondisi kesehatan jantung pada perempuan. Namun, kondisi serupa tidak ditemukan pada laki-laki.
Seorang ilmuwan dari Universitas Queensland, Jiayue-Clara Jiang menerangkan bahwa depresi secara tidak langsung memengaruhi gaya hidup seseorang yang cenderung menjadi "negatif," seperti pola makan yang buruk, kurangnya aktivitas fisik, dan kebiasaan tidur yang tidak teratur.
Jiang menambahkan bahwa kondisi ini dapat memperburuk kondisi kesehatan jantung secara signifikan.
Dalam studi ini, Jiang dan timnya meneliti hubungan genetik menggunakan data genomik dan kesehatan dari sekitar 345.000 orang di Inggris. Penelitian ini dilakukan untuk menyelidiki hubungan antara otak dan jantung pada perempuan dan laki-laki.
"Kami menggunakan data penelitian untuk menghitung risiko genetik depresi pada setiap orang. Kemudian kami memeriksa apakah risiko ini dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terkena penyakit jantung di masa mendatang," kata Jiang kepada Science Alert, yang dikutip Senin (16/12/2024).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki genetik depresi lebih berisiko terkena penyakit kardiovaskular, khususnya penyakit jantung.
Risiko Penyakit Jantung pada Perempuan
Menurut Jiang, risiko penyakit jantung pada perempuan ini kian meningkat setelah mereka mengalami menopause.
"Namun, kami menemukan hubungan serupa antara risiko genetik depresi dan kejadian penyakit jantung di masa mendatang, terlepas dari apakah perempuan tersebut telah mengalami menopause atau belum," terang Jiang.
Jiang menambahkan bahwa alat pengukur risiko jantung sering kali "menyamakan" gejala penyakit jantung antara laki-laki dan perempuan. Padahal, keduanya memiliki kondisi fisik yang berbeda dalam konteks kesehatan jantung.
"Saat ini, hanya QRISK3 yang digunakan dokter di Inggris untuk menghitung risiko depresi," ujar Jiang.
"Namun, kalkulator ini menganggap dampak diagnosis depresi terhadap risiko penyakit jantung sama pada pria dan wanita," tambahnya.
Penggunaan alat yang dirancang untuk laki-laki ini secara tidak langsung dapat meningkatkan ketidakakuratan diagnosa terhadap perempuan.
Untuk itu, para peneliti menyarankan agar penelitian terhadap jantung lebih banyak dilakukan dengan melihat sudut pandang perempuan. Hal ini karena adanya "bias gender" yang kerap menyamakan kondisi kesehatan laki-laki dengan perempuan.
"Peningkatan kesadaran seputar perbedaan jenis kelamin dalam penyakit jantung sangat penting untuk mendorong lebih banyak perempuan untuk memprioritaskan pemeriksaan kesehatan jantung mereka," tutupnya.
(faz/faz)