Ada Siswa SMP Nggak Bisa Baca, Ini Kata dan Data Mendikdasmen

ADVERTISEMENT

Ada Siswa SMP Nggak Bisa Baca, Ini Kata dan Data Mendikdasmen

Devita Savitri - detikEdu
Selasa, 29 Apr 2025 17:00 WIB
Ini kata dan data dari Kemendidkasmen tentang ada siswa SMP yang tidak bisa membaca.
Ini kata dan data dari Kemendidkasmen tentang ada siswa SMP yang tidak bisa membaca. Foto: Adhi Nauval Ilmi/20Detik
Jakarta -

Beberapa waktu ke belakang publik dihebohkan dengan kabar adanya ratusan siswa sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng, Bali tidak bisa membaca dengan lancar. Padahal seharusnya di tingkat ini, seharusnya membaca sudah bukan persoalan bagi siswa SMP.

Keadaan ini juga sudah ditanggapi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Mendikdasmen Abdul Mu'ti, menyebut persentase siswa yang tidak bisa membaca di Buleleng, Bali tergolong kecil.

Sekitar 400 dari sekian puluh ribu murid atau sekitar 0,0011%. Meski kecil, nyatanya fakta ini tidak bisa dilepaskan dari keadaan nyata di Indonesia berdasarkan hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 tentang kemampuan membaca siswa yang masih rendah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dirangkum detikEdu, Senin (29/4/2025) ketahui informasinya berikut ini.

Siswa di Buleleng Belum Bisa Lancar Membaca

Kabar tentang banyaknya siswa SMP di Kabupaten Buleleng, bali belum bisa membaca dengan lancar disampaikan oleh Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, I Made Sedana.

ADVERTISEMENT

Sedana menyampaikan berdasarkan data yang dihimpun dari Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Buleleng, ada 400-an siswa SMP masih kesulitan membaca. Ratusan siswa tersebut berasal dari 60 SMP di seluruh Kabupaten Buleleng.

Menurutnya ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini bisa terjadi, seperti:

1. Kebijakan naik kelas otomatis

Kebijakan naik kelas otomatis atau program tuntas berjalan tanpa mengukur penguasaan kompetensi dasar siswa. Siswa bisa naik kelas meskipun belum menguasai kemampuan dasar seperti membaca.

Bukan jadi solusi, kebijakan ini menurutnya justru seperti memindahkan beban pendidikan dasar dari SD ke SMP.

"Kalau dicermati, program tuntas itu implementasinya tuntaskan mereka, baru naikkan. (Jadi ini) seperti memindahkan persoalan dari SD ke SMP," kata Sedana dikutip dari detikbali, Selasa (29/4/2025).

2. Disleksia

Mengutip Universitas Gadjah Mada (UGM), disleksia merupakan gangguan kesulitan belajar dalam membaca, menulis, dan mengeja. Gangguan ini disebabkan oleh gangguan perkembangan saraf otak.

Faktor penyebab disleksia mencakup genetik dan lingkungan. Seperti adanya benturan keras pada kepala pada saat masa pertumbuhan anak.

3. Pembelajaran berdiferensiasi

Pembelajaran berdiferensiasi bermakna pendekatan pengajaran yang diberikan guru bisa mengakomodasi kebutuhan belajar setiap siswa yang berbeda-beda. Termasuk minat dan gaya belajar mereka.

Pendekatan ini menurut Sedana dimaknai dan diimplementasikan dengan baik di sekolah.

4. Kurangnya keterlibatan tripusat pendidikan

Tripusat pendidikan adalah sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam proses pendidikan. Karena menurut Sedana peran serta orang tua dalam pendidikan anak sangatlah penting.

"Ekosistem tripusat pendidikan harus berjalan dengan baik, sehingga masyarakat menyadari bahwa pendidikan anak itu tanggung jawab yang utama," jelasnya.

Untuk menyelesaikan persoalan ini, Sedana menyarankan beberapa solusi. Dari pemetaan kemampuan siswa sejak SD, pembentukan kelas khusus bagi siswa dengan kemampuan belajar lambat, pelatihan guru dioptimalisasi, dan deteksi dini disleksia.

Kata Mendikdasmen Soal Kasus Buleleng

Persoalan 400 siswa tidak bisa lancar membaca juga sudah diketahui Mendikdasmen Abdul Mu'ti. Setelah berkomunikasi dengan Dinas Pendidikan Buleleng, sebagian siswa yang tidak bisa membaca karena mengalami disleksia hingga kebutuhan khusus.

Selanjutnya, ditemukan juga siswa berasal dari keluarga yang kurang mampu. Sehingga mereka tidak mendapatkan perhatian yang baik untuk belajar di rumah dari orang tua.

"Sebagian dari anak-anak yang memang mengalami disleksia, anak-anak yang berkebutuhan khusus dan memang anak-anak dari keluarga yang kurang mendapatkan perhatian dengan baik. Sebagian karena ada alasan motivasi belajar yang rendah," ujar Mu'ti dikutip dari detiknews.

Mu'ti menyebut pihaknya telah berkomunikasi dengan Dinas Pendidikan Buleleng. Ke depan akan ada pendampingan intensif terhadap siswa yang belum bisa membaca tersebut.

Kemampuan Membaca di Bawah Standar

Keadaan kemampuan membaca siswa Indonesia merupakan tantangan nyata utama pendidikan Indonesia. Menteri Mu'ti dalam acara pembukaan Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 2025, Selasa (29/4/2025) membeberkan hasil PISA 2022.

"Kualitas hasil belajar juga masih menjadi tantangan kita bersama-sama terutama adalah yang berkaitan dengan kemampuan membaca di bawah standar," katanya.

Disebutkan 75% anak usia 15 tahun di Indonesia memiliki kemampuan membaca di bawah standar PISA level 2. Artinya mereka kesulitan memahami gagasan utama dan sebuah teks panjang.

"Mereka mampu membaca tapi tidak paham dengan apa yang dibaca. Biasanya kalau membaca angka-angka cepat paham tapi membaca kata-kata pahamnya lama," imbuh Mu'ti.

Selain membaca, hasil PISA 2022 juga menyatakan 82% anak usia 15 tahun di Indonesia memiliki kemampuan matematika di bawah standar. Sama-sama berada di bawah level 2 PISA.

"Artinya mereka kesulitan memahami aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari," tandasnya.

Untuk menjawab tantangan ini, Kemendikdasmen menggelar Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah (Konsolnas Dikdasmen) Tahun 2025. Konsolnas Dikdasmen sendiri adalah wadah penting bagi seluruh pemangku kepentingan pendidikan.

Baik pemerintah pusat, daerah, mitra, hingga komunitas masyarakat bidang pendidikan. Di kegiatan ini, seluruh pihak akan menyamakan persepsi, membangun kerangka kerja, hingga memperkuat kolektif dalam mengatasi tantangan pendidikan nasional.




(det/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads